Menikmati Embun Pagi: Sebuah Testimoni Kecil
09 Maret 2016 senada dengan 02 Jumadal Akhirah 1437 (Night)
Pagi tadi, Indonesia mengalami gerhana matahari. Wilayah
Yogyakarta hanya dapat melihat sebagiannya, tidak penuh. Cuaca entah mengapa
terasa lebih panas dari hari sebelumnya. Hari ini juga merupakan Hari Raya
Nyepi. Maka dua hal itu cukup untuk membuatku lebih banyak di kamar,
merampungkan novel Supernova ke-6.
Intelegensi Embun Pagi merupakan novel pamungkas dari seri
Supernova karya Dewi ‘Dee’ Lestari. Akhir bulan lalu novel tersebut sampai ke
tangan saya. Dan hari ini, terhitung sepuluh hari, akhirnya khatam jua. Senang
akhirnya bisa menikmati, lelah karena sedari tadi bertahan di posisi itu itu
aja demi membaca dan sedih karena kehilangan bacaan novel greget dalam waktu
sebentar. Setimpal. Itu jawaban paling jelas.
Ini hanya testimoni, hal yang saya rasakan setelah membaca
novel tersebut. Jadi tidak perlu panjang apalagi mendetail. Sebab jika dicari
di internet mengenai review novel tersebut pasti sudah ada yang menulis.
Saya cuma butuh ruang untuk bicara mengenai novel ini lewat tulisan. Kamu boleh
mendengarkan.
Dee bagi saya lekat dengan diksi rapih dan berirama di setiap
novelnya. Paragraf-paragraf yang dia susun menjadi keping selalu membuat saya
kagum, nyaman dengan semua itu. Di novel ini, kesan diksi itu tetap khas.
Mungkin menguat, walau sedikit. Bercerita dengan fragmen sebagai dasar
keterpaduan novel, saya rasa tidak mudah. Tapi Dee bisa melakukan hal itu
dengan anggun.
Gio, Zarah, Elektra, Mpret, Bodhi, Alfa, dan kawan-kawan
bekumpul di novel ini. Bagi yang pernah membaca sekuel Supernova dari nomer
satu pasti tahu. Bagi yang belum, cari perpustakaan terdekat untuk menjawab
pertanyaan ‘kaya apa sih ceritanya?’. Read, and you will know it. Tapi
saya tetap prefer untuk beli juga.
Bagi saya, novel ini tetap asyik meski saya merasa kaya seri
novel Barat. Tahu serial ‘I Am Number Four?’. Bagi saya ceritanya mirip itu
cuma dalam sekuens yang berbeda, dalam benag merah ide yang lain. Sebab pada
akhirnya kekuatan supranatural tetap dimasukkan meski tidak banyak adegan dalam
cerita yang mengutamakan kontak fisik.
Tadi saya juga sempat memetakan mengenai konsep gugus dan
peretas. Jadi dari 64 gugus yang ada, dua diantaranya disebut dalam cerita;
Kandara dan Asko. Peretas memiliki nama kode dan fungsi. Gugus kandara berisi
Bintang Jatuh/Diva (berfungsi sebagai Peretas Mimpi), Kesatria/Ferre (mungkin
Peretas Kunci), Bulan/Candra alias Bong (Peretas Kisi), Murai/Firas (Peretas
Gerbang), Putri/Rana (Entahlah) dan Foniks/Toni alias Mpret (Peretas Memori).
Sedang gugus Asko terdiri dari Akar/Bodhi (Peretas Kisi), Gelombang/Alfa
(Peretas Mimpi), Petir/Elektra (Peretas Memori), Partikel/Zarah (Peretas
Gerbang), Kabut/Gio (Peretas Kunci) dan Permata yang merupakan Peretas puncak
akan lahir dari pasangan Zarah dan Gio.
Awalnya saya agak kecewa karena meski semua tokoh berkumpul,
tak ada ledakan cerita. Padahal saat membaca seri Supernova Lima, Gelombang,
saya merasa tirai cerita sesungguhnya mulai terungkap dan cerita menuju
klimaks. And my prediction actually wrong. Membaca tak sampai usai hanya
menumbuhkan pemahaman parsial. Segalanya berubah ketika 680an halaman saya
lahap. KEREN. Itu kata yang paling bisa diucapkan atas segala kejeniusan Dee
dalam menulis sebuah karya.
Well, kalau kamu bingung dengan dua paragraf sebelumnya... saya rasa baca
novelnya adalah tindakan paling tepat untuk mengatasinya.
Finally, ini akhir testimoninya. Dee bagus dalam membuat setting tempat,
deksripsinya kuat, diksinya rapat dan penokohannya tepat. Membaca keping demi
keping bagi saya menjadi sebagai siksaan. Dalam artian saya sulit berhenti membaca
meski mata dan tubuh ini sudah memberi kode keras untuk rehat berkali-kali.
Believe me, AdDEEction isn’t just a folklore. Pssstt :D
Meet The Author and Her Baby :D | Source: aws-dist.brta.in |
setuju :) tersiksa mau nerusin, tapi emosi diaduk aduk., ga diterusin penasaran
BalasHapussemacam keahlian ibu suri bikin pembaca kagok haha
Hapus