Mocosik Talkshow; Tentang Buku, Membaca dan Literasi
Tertanggal 13 Pebruari 2017 senada dengan 16 Jumadal Ula 1438
Aku pengen pamer bahwa aku ikut acara keren. Sumpah. Eh engga
perlu sumpa juga kali haha.
Pamflet Publikasi | Source: WA Image |
Acara ini diselenggarakan pertama kali di Jogja. Mocosik
Fertival, begitulah namanya. Tema yang diusung menarik; Membaca Musik,
Menyanyikan Buku. Keren kan? Mocosik
dihimpun dari dua kata, moco (Jawa: baca) dan sik (penggalan kata
‘musik’). Namun dalam bahasa Jawa, moco sik memiliki arti ‘baca dulu’.
Festival ini berlangsung dari tanggal 12-14 Pebruari, bertempat di Jogja Expo
Center (JEC) Yogyakarta. Pada intinya, acara ini menggabungkan konsep musik dan
buku. Tujuan dari kegiatan ini, sebagaimana dituturkan oleh panitia
penyelenggara adalah mengembalikan kita pada pusat peradaban, buku. Nah aku sempat
mengikuti salah satu rangkaian acaranya yaitu sebuah talkshow.
Talkshow ini mendatangkan Najwa Shihab (Host Mata Najwa, Duta
Baca Indonesia) dan FX. Rudy Gunawan (Jurnalis, Pendiri Gagas Media dan Tenaga Ahli
Staf Kepresidenan). Glenn Fredly dan dr. Tompi berperan menjadi duo host koplak
dan seru. Mereka juga memadukan musik dalam membawakan acara. Kaka Tompi
(mungkin baiknya memanggil seperti ini untuk memudahkan tanpa mengurangi rasa
hormat), membacakan narasi sewaktu memanggil Mbak Nana dan Mas Rudy untuk
tampil di panggung. Kaka Glenn, bertugas memainkan lagu penggiring. Keren.
Selama talkshow berlangsung banyak humor segar yang dilempar
para host, beberapa diantaranya memang sedikit ber-aroma politik. Entah
diniatkan serius, atau bercanda. Tentu ini adalah bumbu yang menyedapkan
masakan utama. Beberapa point dari masakan utama itu, saya coba sajikan kembali
untuk anda. Berikut hidangannya.
Pertanyaan awal yang dilontarkan para host berisi seputar
bagaimana Mbak Nana dan Mas Rudy bisa suka membaca. Mbak Nana menyampaikan
beliau besar di keluarga yang mencintai buku. Sejak kecil beliau dibiasakan
untuk pergi ke toko buku setiap Kamis, dan diperbolehkan membeli buku yang
disukai. Buku yang ada di rumah lalu dipinjamkan pada masyarakat sekitar, Mbak
Nana membentuk perpustakaan mini. Sewa pinjam per buku seharga Rp. 25. Hasil
pengumpulan uang tersebut dialokasikan untuk membeli koleksi baru. Bacaan
kesukaan Mbak Nana (sekaligus bacaan awal) adalah majalah Bobo. Cerita Mas Rudy
tidak jauh berbeda. Taman baca yang dekat dengan rumah beliau (kala itu)
menjadi pembangkit semangat membaca. Mas Rudy suka membaca komik-komik silat.
Menurut beliau, penokohan komik (pada waktu beliau kecil) terkesan sangat kuat
dan bahkan dapat membentuk karakter anak. Misal timbul rasa keberanian. Kini,
per-komik-an Indonesia berkesan ‘kurang’ greget dan banyak didominasi manga
Jepang.
Mbak Nana bercerita mengenai perjalanan menjadi duta baca.
Kata beliau, prosesnya meliputi polling, seleksi dan interview.
Dan yah, seperti yang kita tahu akhirnya beliau yang ditunjuk Perpustakaan
Nasional untuk menjadi Duta Baca Indonesia. Tugas beliau secara sederhana
adalah mengajak orang untuk kembali membaca. Beliau melakukan roadshow
ke berbagai tempat dan bersinergi dengan komunitas literasi. Hal lucu yang saya
lihat adalah ketika Kaka Tompi menanyakan apakah yang sudah Mbak Nana lakukan
selama menjadi duta baca. Mbak Nana berusaha memberikan pengantar jawaban tapi
sering dipotong Kaka Tompi yang membutuhkan jawaban lugas dan jelas. Lucu pokok
e, do engkel-engkelan wahaha. Beberapa hal yang sedang Mbak Nana garap
adalah bersinergi perusahaan distribusi untuk menyediakan buku di berbagai
lokasi umum seperti halte bis. Selain itu, beliau mengusahakan penggalakan digital
corner (DC) di tiap bandara. DC berfungsi sebagai tempat mencari informasi
dan membaca buku. Mbak Nana menekankan bahwa duta baca sesungguhnya adalah
mereka yang perannya sangat jelas dalam membangun literasi. Saya rasa pembaca
sudah mendengar semisal berita tentang kuda pustaka atau lembaga yang bergerak
menyediakan akses baca di daerah perbatasan. Berita selengkapnya bisa dicari di
internet. Terkesan merendah, Kaka Tompi berkomentar ‘ini namanya merendahkan
diri, mendirikan mutu’. Hahaha.
Kaka Rudy memiliki pengalaman dan peran yang berbeda. Beliau
bercerita mengenai alasannya mendirikan Gagas Media. Menurutnya, segmen bacaan
remaja sempat vakum. Ada ruang kosong dari segmen bacaan anak, lalu melompat ke
segmen bacaan dewasa (serius). Padahal segmen ini juga perlu ada untuk
membangun minat baca remaja. Dengan mendirikan Gagas Media, beliau menemukan
banyak penulis muda berbakat yang aktif menulis di media sosial. Contoh yang
sangat familiar adalah Raditya Dika. Kaka Rudy sekarang menjabat staf ahli
kepresidenan. Bidangnya pun berkaitan dengan literasi, memajukan pembudayaan
membaca. Beliau dan rekan kerja mencari program terobosan yang visioner. Salah
satunya adalah majalah untuk difabel. Ini keren, tapi saya belum pegang
barangnya. Penyediaan bacaan bagi PWD (people with disabilities) perlu
dilakukan mengingat saat ini bacaan untuk mereka masih terbatas. Langkah Mas
Rudy juga perlu didukung penuh masyarakat mengingat sustainability
program pemerintah susah dilakukan bila tidak ada partisipasi masyarakat.
Kalau ditanya, mengapa perlu membaca? Apa jawaban anda? Saya
bantu menjawab dengan pendapat Mbak Nana hehe. Membaca dapat membuat kita lebih
bahagia dan tidak cepat pikun. Sebuah penelitian menyatakan bahwa membaca 6
menit dapat menurunkan stress. Ada satu saraf yang hanya berfungsi saat kita
membaca, ia menekan potensi cepat pikun. Penelitian ini perlu pembaca cari
untuk dipahami lebih dalam. Saya pribadi belum menemukan teman. Hihi. Mbak Nana
juga memberikan tips untuk yang belum suka baca. Cobalah membaca 20 menit
sehari. Bila berat, dibagi menjadi empat fase: lima menit pagi, lima menit
siang, lima menit sore, dan lima menit malam. Lakukan terus tiap hari.
Sesuaikan juga bacaannya. Misal kalau pagi bisa baca berita, malam sebelum
tidur bisa membaca cerita ringan atau biografi tokoh.
Ada catatan yang Mbak Nana berikan. Membaca itu tidak sekedar
mengeja. Membaca itu menarik kesimpulan dan memilah informasi. Membaca tidak
sama dengan melek aksara karena membaca tersusun dari aktifitas kompleks yang
melibatkan berpikir lebih jauh dalam menggali makna. Bagaimana untuk tahu
bacaan yang bagus? Perbanyaklah membaca, niscaya kita akan tahu mana bacaan
yang bagus. Ini memang harus dilatih dan dibiasakan. Apakah bacaan yang ‘buruk’
harus dilarang? Tidak juga. Kita sudah berada di masa keterbukaan informasi. Poin
intinya bukan melarang bacaan, tapi membekali masyarakat keterampilan literasi.
Mas Rudy menambahkan, bahwa kita memang perlu literasi media karena sebenarnya
masyarakat Indonesia belum siap menghadapi ketebukaan informasinya, belum siap
menghadapi banjirnya informasi.
Oh ya, secara garis besar dalam Mocosik Festival terdapat dua
kegiatan, talkshow dan konser. Selain itu, ada bazar bukunya juga loh. Bahkan
beberapa buku menjadi tiket untuk bisa nonton konser. Cuma, hehe, berhubung
lagi krisis moneter aku engga sempat beli buku satupun. Padahal banyak buku
yang keren-keren. Salah satunya adalah buku Mbak Nana berjudul ‘Catatan Najwa’.
Buku tersebut merupakan kumpulan kegelisahan. Semaca catatan dari show
Mata Najwa, disusun tematik. Berupa refleksi dari percakapan, muncul karena
kegalauan. Kata Mbak Nana, galau perlu dipelihara. Galau menuntut kita untuk
berkembang. Jangan berhenti di titik galau. Bangkit dari galau, berkembanglah.
Ini sih galau akademik namanya wahaha. Mas Rudy juga membawa buku karyanya.
Sebuah novel berjudul KOMA. Novel ini bercerita tentang situasi politik di
Jakarta, namun menggunakan setting latar mundur. Kalau tidak salah masa orba.
Kaka Tompi komentar bahwa novel tersebut tidak lugas, ada sesuatu yang
disembunyikan atau tepatnya takut ditampakkan. Jawaban Mas Rudy membuat saya
cukup tertegun. Bahwa beliau yang besar dalam lingkungan keterkungkungan pers,
tidak bisa membuat tulisan yang sangat terang-terangan. Atau tepatnya
lingkungan sekitar yang membuat beliau begitu. Karena tidak bisa dipungkiri
bahwa lingkungan atau latar belakang penulis memiliki pengaruh yang besar bagi
karyanya.
Perbincangan sampai pada tema ‘Jogja dan pemuda’. Dalam
pandangan Mbak Nana, Jogja merupakan sebuah lingkungan yang mencetak pemimpin,
lingkungan yang meluluskan sarjana dengan sensitivitas perbedaan. Jogja,
istimewa dengan berbagai hal. Jogja, harmoni dalam keberagaman. Bagi Mas Rudy,
Jogja sudah menyisakan banyak kenangan. Beliau merasa dibentuk di Jogja.
Baginya, Jogja adalah Indonesia mini yang ideal. Semua perbedaan berkumpul dan
menyatu dalam keserasian.
Apa kabar pemuda hari ini? Saya pribadi menjadi semangat
untuk lebih memperbaiki diri setelah mendengar komentar Mbak Nana mengenai
pemuda-mahasiswa-sarjana. Kata beliau, sarjana memiliki peran penting di negara
ini. Ingat, para founding father kita adalah pemuda. Mereka berkarya,
mereka membela negara, mereka memajukan Indonesia. Pemuda harusnya sadar akan
perannya dalam keberagaman, atas aksinya dalam memajukan negara pada ranah yang
sedemikian kompleks. Jangan hanya diam. Abai atas situasi politik dan tidak
mengambil sikap dalam berbagai isu, bukanlah ciri pemuda Indonesia progresif.
Saya setuju, dan semoga saya bisa mencapai hal itu (pemuda Indonesia
progresif). Amin.
Berikutnya ada sesi Q&A. Saya memang tidak ambil bagian.
Ah, lebih banyak pertanyaan bagus diluar saya. Haha. Bagian ini mungkin lebih
simpel dari paragraf sebelumnya.
Buku best seller, belum tentu berkualitas. Kadang,
buku yang tidak laku adalah buku berkualitas. Buku berkualitas merupakan term
umum. Jadi kembali pada genrenya. Kalau akademik, maka textbook yang
ditulis oleh mereka yang kredibel di bidangnya adalah berkualitas. Kalau buku
klasik, adalah karya yang tak lekang oleh waktu, misal filsafat. Sementara
untuk buku umum, memang cukup rumit pemilihannya (Rudy, Yogyakarta: 2017).
Buku bagus, berangkat dari kesukaan. Kesukaan membuat kita
mencari tahu lebih banyak, membaca lebih banyak. Jadikan membaca sebagai sebuah
rutinitas, jadikan buku sebagai sebuah investasi (Najwa, Yogyakarta: 2017).
Visi saya sebagai duta baca Indonesia, secara sederhana,
adalah membagi beban pada semuanya. Semua adalah duta baca. Di semua lingkungan
harus ada duta baca; negara, provinsi, instansi, komunitas, bahkan keluarga
perlu ada duta baca. Mari menjadi generasi cinta literasi, yang tidak cepat
memaki (Najwa, Yogyakarta: 2017).
Buatlah lingkungan keluarga menyukai buku, mencintai membaca
(Najwa, Yogyakarta, 2017).
Toko buku kecil banyak yang gulung tikar karena tergerus
persaingan kapital toko buku besar (Rudy, Yogyakarta: 2017).
Akhirnya, acaranya pun usai. Ada sesi foto dan book
signing. Aku engga ambil bagian sih haha.
Salam L |
Kerennya ketika berfoto, mereka (pembicara-host-panitia)
berpose salam L. Kalau aku sih memaknai sala L sebagai literation, library
dan librarian. Hehe. Soalnya, apa yang Mbak Nana dan Mas Rudy sampaikan related
banget dengan jurusanku, Ilmu Perpustakaan. Aku jadi lebih tahu perkembangan
dan pengembangan literasi-minat baca utamanya pada tataran teknis-informatif.
Ada closing statement yang sempat saya rekam, cek
disini.
Semoga catatan kecil ini bermanfaat. Selamat membaca. Salam
literasi.
Eksis dulu |
Sudut Festival |
Komentar
Posting Komentar