Sepatu Compass dan Fenomena Meledaknya Brand Sepatu Lokal: A Data Perspective
Oleh: Akmal Faradise
Tulisan ini dibuat
dengan menerima kenyataan bahwa ‘penulis juga turut menjadi pemasar produk’
adalah sebuah risiko bawaan.
Sepatu menjadi salah satu barang yang digemari. Ia nyatanya adalah outfit yang hampir selalu dibutuhkan
dalam berbagai kondisi, mulai dari main hingga acara formal. Tergantung bentuk
dan modelnya, sepatu bisa menyesuaikan kebutuhan si pemakai atas kegiatan yang
akan dilakukan. Juga, harga dan kualitas sepatu biasanya menampilkan status
sosial si pemakai.
Sepatu Compass | Sumber: @oisneaks |
Saya sejujurnya tidak terlalu begitu pusing mengenai sepatu
yang saya pakai. Baik itu merk atau modelnya. Asal ada saja, ya sudah. Satu
sepatu yang saya punya bisa saya pakai ke berbagai jenis acara, entah formal
ataupun non-formal haha. Terkesan serampangan dan kurang menghargai mode/fesyen
ya? Sepertinya begitu. Hingga kemudian saya lebih mengenal dunia sepatu,
utamanya sepatu buatan lokal.
Adalah Faiz, teman se-kosan saya yang dulunya seorang kamen
rider, yang kemudian menyeret saya untuk tahu sepatu lokal bermerk ‘Compass’.
Doi ingin sekali series/varian
tertentu dari merk ini. Dia rela berburu dan mengantre panjang pada hampir
setiap rilisan offline sepatu ini.
Bahkan dia pernah mengajak saya untuk berburu sepatu ’Compass’ di salah satu
toko. Akhirnya ngga dapat juga si, tapi saya tahu seberapa besar animo
orang-orang atas sepatu tersebut.
Animo itu hampir selalu saya temui di media sosial. Pada awal
Nopember lalu, kejadian yang sama terjadi di jakarta. Tepatnya pada event Urban
Sneaker Society (USS) 2019 yang digelar di District 8 SCBD Jakarta pada tanggal
8-10 Nopember lalu. USS sendiri secara sederhana adalah ruang bagi komunitas sneaker dan streetwear. Yah kek pameran, terus ada yang jualan gitu. Di
berbagai berita, acara ini dikabarkan ramai. Utamanya stand sepatu Compass yang
antreannya mengular.
Saya membaca beberapa berita yang memuat
fenomena ini. Gila. Demi sepatu Compass, banyak orang yang antre dari malam
sebelum event dibuka. Ada juga yang
datang pada pagi buta. Peminatnya tidak cuma dari Jakarta dan sekitarnya, tapi
banyak dari pulau Jawa dan bahkan ada yang dari luar Jawa juga. Katanya, ada pengantre
yang sampai diusir satpam. Tapi pada akhirnya para peminat untung-untungan,
tidak semua mendapat sepatu yang mereka mau. Tentu berkaitan dengan stock.
Fenomena ini menurut saya mirip
dengan antusiasme iPhone. Orang rela antre panjang, bahkan sampai kemping depan
Apple store hanya demi lebih awal mencicipi iphone baru. Yah gimana ya? Kayanya
miris sih. Hanya demi sepatu, hanya demi. Apakah iya hanya demi?
Penasaran, saya mencoba mengulik
lebih jauh. Dari fenomena sepatu Compass ini pasti ada pemicunya. Apa
sebenarnya yang bikin merk Compass meledak? Apakah kualitasnya? Kenapa brand-nya kemudian kuat? Sejak kapan blow up ini dimulai? Siapa kemudian yang
menjadi influencer? Dan segudang
pertanyaan lain. Tapi intinya adalah kenapa sepatu Compass kemudian disukai dan
diburu banyak orang.
Sebagai pengantar, saya akan menyajikan
percakapan atau tepatnya hal yang terjadi di media sosial. Secara spesifik
tulisan ini menggunakan software DEA, dengan sumber data utama Twitter.
Grafik ini menunjukkan tingkat antusiasme warga twitter atas sepatu compass. Terjadi lonjakan mention pada hari digelarnya Urban Sneaker Society. Animo berkomentar masyarakat naik, yang dalam hal ini menunjukkan komentar personal mereka atas USS dan sepatu Compass, pada tiga hari tersebut.
Sentimen negatif (warna merah) terlihat lebih mendominasi.
Bila merujuk pada liputan berita, memang banyak dikatakan pengantre tidak
mendapat sepatu yang mereka inginkan. Kata-kata negatif dimungkinkan muncul.
Sentimen melihat pemakaian kata yang masuk pada kategori kata bertendensi
negatif dan merepresentasikan suasana hati warga Twitter hari itu.
Mention yang lebih tinggi dari RT menunjukkan bahwa warga Twitter
lebih banyak mengutarakan pendapat pribadinya mengenai sepatu compass daripada
mengafirmasi pendapat orang.
Bot analysis memetakan bahwa percakapan tentang sepatu
compass di Twitter lebih banyak dilakukan orang bukan bot. Saya rasa ini masuk
akal karena tidak sedang dalam kondisi politis atau memframing pemikiran
tertentu. Kemudian, para penggemar Compass yang bercakap mengenai sepatu Compass
hanya orang Jawa, atau tepatnya dominan. Namun bisa saja itu hanya lokasi
mereka melakukan cuitan.
Gambar di atas menggambarkan bagaimana bunyi komentar
masyarakat mengenai fenomena sepatu Compass. Salah satunya fenomena antrian panjang
di USS. Tweet teratas dapat dikatakan sebagai sebuah sentimen negatif.
Menariknya Twitter adalah siapapun yang cuitannya menarik
bisa memberikan dampak yang besar. Di atas adalah nama-nama yang disinyalir
memiliki pengaruh paling luas dalam percakapan tentag sepatu Compass. Kita bisa
lihat perbedaan dengan data sebelumnya bahwa pengguna yang berpengaruh (secara
akun) belum tentu selaras dengan dampak Tweet-nya.
Data di atas setidaknya sebuah perwakilan dari warga Twitter yang
bisa menggambarkan bahwa sepatu compass mendapat perhatian untuk dibicarakan. Kemudian
saya komparasikan dengan data wawancara dari Kumparan dan video dr. Tirta.
Kumparan menyusun berbagai investigasi dan ditemukan bagaimana awalnya Compass hype.
Hype-nya sepatu compass setidaknya
dimulai dari awal tahun 2019 dan permintaannya terus melonjak. Hal ini bermula dari
rilisnya seri kolaborasi Compass dengan Bryant Notodihardjo (influencer sekaligus social media
manager LOC) seri Bravo 001 pada Jakarta Sneaker Day 2019 Februari lalu. Compass
X Bryant dibuat 100 pasang tersebut ludes terjual dalam 90 menit. Setelahnya,
harga resale sepatu Compass terus naik,
dari berbagai seri/varian. Bahkan kenaikan tersebut terus terjadi hingga hari ini.
Ada beberapa influencer
yang terlibat dalam menaikkan brand compass yaitu dr. Tirta Mandira (influencer di bidang fesyen khususnya
sneaker dan penggerak #LocalPrideIndonesia), Boim Lenno dan Bryant.. Creative
Director Compass, Aji Handoko, mengajak dr Tirta dkk berkolaborasi. Mereka melakukan
review di laman media sosialnya
masing-masing. Karena mereka memiliki banyak follower, brand Compass naik
sukses. Namun demikian, hal itu juga karena sepatunya memiliki harga murah
dengan desain keren dan kualitasnya bagus.
dr. Tirta adalah seorang dokter yang juga suka sepatu. Dia
kemudian entah bagaimana dia bisa masuk dan room
tour ke pabrik sepatu compas. Semuanya yang bikin penasaran tentang compass
bisa dilihat di vlog dr. Tirta.
Compass memang membuat pasang sepatunya hanya 3000 karena
memang keterbatasan man power. Mereka
menjunjung kualitas. Jad karena produksinya memang kuatnya di 3000 pasang, ya sudah
dibuat tapi dengan kualitas yang bagus. Ke belakang, menurut perkiraan dr.
Tirta, misal Compass sudah besar akan pabrik untuk produksi massal. Produk
Compass bisa dibagi pada dua segmen yaitu ada khusus handcraft dengan harga lebih mahal tapi bagus dan ada juga yang
skala produksi massal.
Saya secara personal juga suka sepatu Compass. Modelnya asik,
simple dan elegan. Kualitas bahannya, menurut saya yang awam tentang sepatu,
bagus. Tapi banyak yang mengiyakan mengenai kualitas. Secara harga ngga mahal.
Dan yah membeli Compass juga menghidupkan pasar produksi lokal.
Bagaimana pun, sebuah sepatu juga merupakan sub-cultre.
Ia menjadi identitass, dalam kasus ini, anak muda yang suka ‘bergaya’ sekaligus
‘mendukung lokalitas’. Compass mencermikan gerakan lokal yang melawan kemapanan
sneaker arus utama. Media sosial
menjadi kendaraan utamanya untuk menarik banyak orang, memikat orang-orang
mebeli produk dalam lingkaran budaya massa.
Catatan
Sebagian besar data diambil dari Twitter menggunakan tools
Drone Emprit Academic. Keyword utamanya adalah #sepatucompass. Data diakses
pada 17 Nopember 2019, dengan rentang ambilan data mulai 06-17 Nopember 2019.
Hasil data dimungkinkan tidak holistik disebabkan kurangnya kata kunci dalam data crawling namun cukup representatif.
Acknowledgement
Tulisan ini dapat hadir di hadapan pembaca berkat data dari
Drone Emprit Academic (DEA). Terima kasih kepada Bapak Ismail Fahmi
(pengembang), Tim DEA dan Universitas Islam Indonesia (UII) yang telah
mendukung riset lebih lanjut mengenai social media dan big data.
Komentar
Posting Komentar