Dari Lesehan Fakultas ke Ruang Virtual
Akmal Faradise
Mahasiswa Ujian Susulan IDKS 2015
Tulisan ini merupakan surat cinta untuk adik-adik JIP UINSK angkatan 2018, dengan sedikit refleksi.
Pengantar.
Menjelang pertengahan tahun, atau tepatnya di akhir masa perkuliahan IDKS, pameran budaya tahunan selalu dilenggarakan. Saya memiliki hubungan emosional dan historis yang dekat-erat dengan pameran ini. Rasanya, karena saya selalu terlibat tiap tahun; mulai dari saat masih menjadi mahasiswa (sok) polos hingga mahasiswa veteran yang mengambil jatah semester lebih banyak dari ‘normal’.
Tema dan lokasi pameran bisa berubah tiap tahun. Tergantung apa yang belum diangkat atau konstekstual diangkat, atau bisa saja se-moodnya pengampu mata kuliah ahaha. Dari tahun ke tahun, perbedaan tema dan lokasi selalu menjadi faktor yang kemudian memengaruhi peserta dan standnya. Konsep yang mereka pilih mau tidak mau akan memiliki kesesuaian satu sama lain. Saya melihat dinamika tersebut dari tahun ke tahun. Kualitas dan cara mengemas selalu berbeda, tapi entah kenapa keseruannya selalu sama. Ada bibit kebahagiaan yang entah bakal muncul di awal pameran, kemudian tumbuh dan mekar saat pameran dan semerbak harumnya bertebaran di akhir pamaren. Selalu begitu.
Mata kuliah dan pameran ini diampu dan diinisiasi dosen kece JIP UINSK: maknyak Labibah Zain.
Oh ya, saya sempat sedikit mendata bagaimana pameran ini dilakukan di tiap tahunnya.
Tahun 2012, pesertanya angkatan 2010, temanya 'All about library', berlokasi di Fakultas Adab. Ini adalah pameran IDKS kali pertama.
Tahun 2013, pesertanya angkatan 2011, temanya 'Oral Tradition', berlokasi di lantai 1 perpustakaan UIN.
Tahun 2014, pesertanya angkatan 2012, temanya 'Folklore', berlokasi di taman CH. Pameran ini memiliki struktur panitia yang jelas (di luar mahasiswa peserta stand), lagi solid serta pendanaan yang aman. Acara ini sangat terasa gempitanya.
Tahun 2015, pesertanya angkatan 2013, temanya 'Permainan Tradisional Anak', berlokasi di gelanggang UIN. Pameran pertama (lagi), yang kembali pada konsep “kita peserta-kita panitia”.
Tahun 2016, pesertanya angkatan 2014, temanya 'Makanan Nusantara', berlokasi di lantai 1 perpustakaan UIN. Saya ikut serta kembali, sebagai penanggung jawab stand ‘makanan gratis’ penuh doorprize di bawah arahan bunda Syifa.
Tahun 2017, pesertanya angkatan 2015, temanya 'Dolanan Anak', berbarengan dengan ICoASL 2017, berlokasi di taman CH. Pameran ini merger dengan ICoASL 2017 dan menyajikan segmen Cultural Night yang sangat memesona turis mancanegara, bahkan direplikasi konsepnya.
Tahun 2018, pesertanya angkatan 2016, temanya 'Pengobatan Tradisional', berlokasi di lantai 1 perpustakaan UIN. Seingat saya pameran ini merger dengan acara ASEM 2018.
Tahun 2019, harusnya dilakukan oleh angkatan 2017, entah kenapa sepertinya ditiadakan. Atau mungkin “dialihkan pada kegiatan lain”. Yang jelas pada tahun tersebut saya tidak bisa engage.
Tahun 2020, pesertanya angkatan 2018, membebaskan tema pameran dengan tetap beririsan pada “budaya lokal” (dan mengangkat lokalitas yang termarjinalkan wkwk), berlokasi di Instagram @pameranbudayaidks
Wait, on social media? Yash! So, here’s why..
Pameran Budaya Virtual: Realita dan Tantangan.
“Nanti tugas akhir kita pameran ya”. Mungkin begitu yang dosen pengampu sampaikan.
Kalian:
Ha pameran?
Pameran apa?
Sik iki ora salah mata kuliah ta?
Lo bikin pameran gimana?
Aku rung tahu nang pameran wkwkwk
Apa yang dipamerin btw?
John, kowe gelem ra kelompok karo aku?
Wa koyone apik iki
Dan reaksi sejenisnya. Belum kelar konsep, konten segala macem, Covid-19 menyerang. Tiba-tiba dosen bilang “Ya sudah pamerannya online aja ya”.
Allahu akbar cobaan apalagi ini??
Saya sejujurnya hanya mencoba membayangkan apa yang adik-adik saya pikirkan-rasakan ketika diberi tahu ada tugas bikin pameran, dan beberapa waktu kemudian formatnya harus daring. Mikir dua kali. Sangat mungkin adik-adik, eh kok saya berasa menggurui ya, ganti dah. Sangat mungkin teman-teman bingung karena belum melihat secara langsung seperti apa IDKS tahun ke tahun, misal. Kalau saya dan angkatan saya pribadi, kami punya gambaran dan bisa menyesuaikan.
Saya menangkap sebenarnya pameran IDKS itu secara inti merupakan praktik ‘Information Repackaging’. Kamu mengemas informasi (dalam hal ini biasanya bermuatan lokalitas dan budaya) pada format yang lebih ringan, menyenangkan dan bisa menjangkau lebih banyak audiens. Format 'pameran' menjadi pilihan yang baik untuk itu. Maka teman-teman kemudian akan diminta membuat stand, dan menampilkan informasi (sesuai tema yang dipilih kelompok) dalam berbagai kemasan/medium. Semisal poster, video, produk, handcraft atau maket. Dengan asumsi pengunjung normal/ramai berdatangan, kita bisa mendapat banyak mata melihat dan mencoba apa yang ingin kita sampaikan. Secara umum, informasi yang akan diterima oleh pengunjung akan lebih mudah diterima dan melekat di otak karena disajikan dengan kemasan/medium yang bervariasi. Informasi tidak hanya diserap secara visual tapi bisa lewat indera lain (perasa, peraba, pendengar, pencium), plus akan lebih kuat dengan adanya experience secara langsung.
Namun demikian, realitanya, menjalankan pameran daring tidak semudah yang dibayangkan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah konversi. Bagaimana stand yang berupa ruang meter kali meter di dunia nyata dikonvesi pada ruang virtual? Teman-teman kemudian menemukan caranya: post IG adalah stand, interaksi peserta-pengunjung dialihkan ke kolom komentar dan live IG semacam pengenalan stand. Anda tentu tahu kan konten tetap konten, hanya berubah dari analog ke digital.
Poster Kegiatan |
Teman-teman peserta pameran akan bekerja keras karena pameran mereka akan disaksikan banyak akun di media sosial sana. Ketepatan dan kesesuian konten harus baik, sebab warganet sering membebaskan jarinya berkelana tanpa batas –liar di unggahan orang lain. Selain itu, saya melihat teman-teman mengunggah konten yang dekat dengan mereka: dari bahan yang mudah di dapat dari sekitar dan dari pengalaman pribadi. Konten (atau produk) dibuat lalu dikemas sendiri. Mereka bisa engage dengan lingkaran mereka. Keren bukan?
Meski keren, perjuangan mereka saya rasa juga berdarah darah. Banyak masalah teknis, dan non-teknis. Pasti banyak pula yang tidak terprediksi dan terantisipasi. Paling sederhana, teman-teman yang sudah ada di rumah masing-masing akan berhadapan dengan kesenjangan jaringan –ndak semua jaringan internetnya lancar. Lagipula, Instagram memiliki batas live; cuma sejam (tepatnya ketika kegiatan pameran daring dilakukan. Selanjutnya durasi live IG bisa lebih panjang).
Lalu kendala selain itu? Wah banyak mesti. Teman-teman bisa lihat kembali di unggahan rekam live @pameranbudayaidks dan @storytellingip.2020 untuk tahu masalah mereka, sebab hal tersebut sempat ditanyakan saat live. Tapi yang saya lihat, paling utama memang pada dinamika kelompok. Bayangkan kamu harus berkoordinasi dengan banyak kepala untuk satu visi. Dalam kondisi normal alias masih bisa bertatap muka, hal ini relatif sulit dilakukan –susah ketemu kata mufakat. Njuk kemudian koordinasinya harus online? Wow.
To be honest, itulah new normal. Kondisi normal baru sebenarnya (salah satunya) perubahan dari interaksi fisik ke virtual. Pandemi hanya mempercepat kita menjalani fase tersebut, jadi kagetnya ngga usah lama-lama. Well, adik-adik kita di JIP UINSK saya rasa sukses menjalani itu semua, di luar suka-duka yang menjadi kenangan tersendiri.
Saya ingin merujuk pembagian generasi yang dibuat oleh Muhammad Faisal, pendiri dan peneliti Youthlab Indonesia. Dalam bukunya berjudul "Generasi Phi", kalau kita tarik konteksnya, Faisal menyampaikan bahwa kelahiran 1989-2000 disebut Generasi Phi* (PengubaH Indonesia). Generasi ini punya impak yang besar bagi generasi selanjutnya. Teman-teman bisa cek influencer di media sosial itu kebanyakan kelahiran tahun berapa untuk membenarkan perkataan Faisal. Nah salah satunya ciri generasi ini, mereka memiliki kohesivitas dan keberkelompokan yang baik. Maka saat ini trennya adalah: kurangi kompetisi perbanyak kolaborasi. Tren tersebut dicuatkan generasi ini. Salut untuk kalian!
Selain itu, generasi Phi memang lebih adaptif terhadap teknologi. Saya yakin beberapa teman-teman JIP UINSK akan lebih awal dan lebih menguasai gadget utamanya untuk content creation. Jadi sebenarnya, dasarnya mereka ngga kaget banget dengan format pameran daring. Syok di awal biasa, tapi tetap bisa beradaptasi. Buktinya, pas sesi live IG, semuanya lancar acnhoring! Daebak.
Eh jangan dikira bilang “halo gaes, ini fulanah. Sebentar lagi kita akan bincang hangat tentang ...” dan eye contact dengan front camera itu mudah lo. Tidak semua bisa. Tidak semua membiasakan. Yang biasapun, belum tentu baik. Saya merasa enjoy mendengarkan mereka saling berdialog satu sama lain, hingga tanpa terasa komentar bar-bar dan rese saya muncul hihi. Mereka terkesan natural, seperti berbicara dengan teman mereka sendiri tanpa beban (walau memang iya mereka bicara dengan teman sendiri haha). Maksud saya, mereka bisa berdialog tanpa memikirkan bagaimana komentar orang nantinya, baik yang ‘join di live’ atau ‘menyaksikan langsung saat mereka live’. Mereka bisa membatasi ruang interaksi hanya dirinya dan handset, tidak peduli yang terjadi di luar ruang itu. Ya kita kan nda tahu di luar layar 16:9 kali aja ada paklik dan bulik yang cekikikan keponakannya anteng hp-an sejam dua jam, yekan?
Anchoring saya rasa hal baru bagi mereka yang mau tidak mau harus dipelajari demi pameran. Dan pasti masih banyak hal baru lain yang harus mereka pelajari. Teman-teman peserta pameran saya yakini belajar untuk menyelesaikan masalah. Apa yang tidak mereka ketahui, akan mereka temukan sendiri jawabannya. Ini bentuk kita bertahan hidup dengan kreatifitas sebagai kuncinya. "Creative make us survive" menurut slentingan maknyak.
Konsep IDKS yang kadang berubah tiap tahun sebenarnya merupakan manifestasi ‘pikiran kreatif’. Sebuah pikiran bebas yang oleh Piliang (85: 2018) disebutkan memang acak, tidak terduga dan melompat-lompat. Tidak bisa dibatasi. Hal ini didasari bahwa kreativitas memang respon atas perubahan. Ada kan bilang “kreatif itu asalnya adalah KERE dan AKTIF”. Karena muncul batasan, pikiran bebas kita merespon dan menolak itu. Kreatif adalah proses melampaui batasan.
Coba lihat karya teman-teman di IG. Baik foto atau video itu hampir semuanya first trial. Lo bagus kan? Kreatif kan?
Yang Saya Pikirkan sebagai Pengunjung Virtual.
Hal menarik mengenai pameran online menurut saya adalah eksposur dan fleksibitas. Ruang virtual membuat karya-karya teman-teman bisa diakses banyak orang di dunia. Hashtag kemudian akan menjadi kunci munculnya konten mereka di ruang explore Instagram. Pameran biasa, kalau selesai yaaaa ... bar. Paling tinggal dokumentasinya. Sementara pameran online, akan terus ‘berlangsung’ selama platform belum tutup. Dokumentasi yang ada bukan hanya foto yang mengabadikan momen pameran, tapi pameran dalam ruang virtual adalah momen dan dokomen itu sendiri. Selamanya.
Saya bisa mencicipi indahnya pameran di masa pandemi ini. Meski memang stay di jogja, tapi saya punya kesempatan hadir, begitupun dengan banyak teman saya yang dari luar daerah. Tidak hanya presence, pameran ini pun mendapat atensi yang besar dari kepustakawanan internasional. Bisa disimak ucapan selamat dari pustakwan beberapa negara yang turut serta mendoakan kesuksesan kegiatan ini. Teman-teman IP sudah lebih dini terkena eksposur internasional.
Saya juga melihat bahwa teman-teman IP berhasil menyuguhkan penampilan yang luar biasa. Materi yang mereka pilih, kemas dan sampaikan bagus. Dalam sesi-sesi live, penyampaian mereka ringan dan lancar. Padahal mereka juga sedang ditonton oleh publik internasional. Secara umum, selama saya mengikut kegiatan, rasanya sangat menyenangkan bahkan terkesan menantang dan membut berpikir. Kenapa? Saya penasaran, bagaimana cara mereka menyulap pameran yang biasanya saya kunjungi secara luring ke dalam media daring? Pikiran itu mengganggu secara simultan saat pameran berlangsung.
Well, kalau ada yang perlu saya komentari sebenarnya platform. Ke depan, apakah akan tetap menggunakan Instagram? Sejauh ini hasilnya bagus untuk percobaan. Namun, kalau kita melihat format pameran, cara penyajiannya bisa dieksplorasi lebih jauh. Beberapa format baru yang muncul di tengah pandemi seperti Beyond Live-nya SM, KCON-TACT, pensi online, dan jalan-jalan virtual mungkin bisa diadaptasi pada agenda pameran tahun selanjutnya. Mungkin penyiapannya lebih lama dan kebutuhannnya lebih komplek. Tapi, sebenarnya ini simulasi untuk menyiapkan teman-teman IP menjadi pustakawan multi talenta yang siap keep up dengan pemustaka milenial.
Anw bicara mengenai format, saya sejujurnya cukup penasaran atas format acara ‘story telling’ (yang biasanya satu kesatuan acara dalam pameran IDKS). Awalnya saya membayangkan mereka akan perform secara online, namun ternyata yang dipilih tetap mengunggah video. Semacam rilis film begitu.
Penampilan Wayang |
Tantangan yang mereka hadapi tentu relatif banyak. Dalam kondisi pandemi, mau tidak mau video perlu dibuat dengan penyatuan fragmen beberapa scene. Ini tidak mudah sebenarnya, saya pernah mencobanya sendiri. Scriptnya harus mendetail, jadi tiap pemeran tahun harus melakukan apa saja di menit berapa. Directornya harus benar-benar bisa memastikan footage yang ada memiliki kualitas yang setara. Nah terakhir, renderingnya terasa agak membosankan, banyak yang harus disatukan (dan ditambah beberapa penyebab jika butuh) hahaha.
Kesulitan teman-teman dalam menyiapkan pameran dan story telling dijelaskan saat sesi live dan beberapa yang saya ingat. Ada yang harus berjuang cari pencahayaan yang tepat. Ada yang katanya jatoh dari pohon mangga. Macem-macem. Selain itu, ketika sesi live mereka menyuguhkan beberapa penampilan seperti memasak, menyanyi, tutorial cuci tangan, tips menghemat uang dll. Semua itu dilakukan dengan perjuangan seperti ada yang mengungsi ke rumah neneknya untuk mendapat kualitas jaringan yang lebih baik saat sesi live. Totalitas. Kalau pesan bu Labibah sih begini “apapun masalah yang muncul berkenaan dengan jaringan internet, kita maklumi. Yang pentig kita semua enjoy”. Well, pameran IDKS yang tiap tahunnya selalu punya elemen “dadakan” ini memang jadi acara pungkasan akhir tahun prodi yang selalu menyenangkan. Karena itu saya juga menyempatkan menyimpan sedikit dokumentasi. Beberapa momen ada yang sempat saya tangkap layar. Yah berhubung itu satu-satunya cara pendokumentasian secara langsung oleh audiens haha
Alumni dan Tahu Bulat: Reuni Online yang Mendadak tapi Seru.
Alumni bisa dibilang elemen mendadak lainnya yang kemudian ditambahkan dalam rangkaian pameran ini. Ada sesi khusus alumni yang selama pameran berlangsung. Beberapa alumni kemudian tampil untuk berbagi pengalaman kerja di lingkungan mereka dan bernostalgia dengan dosen prodi. Testimoni senada yang disampaikan alumni adalah bahwa terlibat dalam pameran IDKS membantu mereka saat bekerja. Ilmu yang mereka dapat dalam pameran IDKS itu berguna beberapa tahun mendatang.
Bagi alumni, kegiatan seperti ini juga menjadi reuni. Beberapa lulusan yang sudah terpisah jarak bisa saling berkomunikasi dengan yang lain. Memang mungkin terbatas di ruang komentar atau tanya jawab saat live. Meski komunikasi dilakukan tekstual namun responnya terasa sangat emosional. Saling membalas komentar saja rasanya susah sesenang itu. Dan bagi adik-adik, ini menjadi ruang membangun relasi dengan senpainya. Kali-kali ada peluang kerja, magang atau kecipratan proyek haha.
Poster Sesi Bincang Alumni |
Bincang Alumni |
Epilog.
Kuota internet boros buuuu~
Note
* Teori pembagian generasi banyak sekali. Saya memiliih pembagian generasi menurut Faisal karena disusun dari timeline sejarah-politik dan konteks ke-Indonesia-an. Lebih sesuai dengan muda-mudi Indonesia. Lebih spesifik dan kontekstual.
Bahan bacaan lanjut.
Faisal, M. (2017). Generasi phi: Memahami milenial pengubah Indonesia. Republika.
Piliang,, Y. A. (2018). Medan kreatifitas: Memahami dunia gagasan. Cantrik Pustaka.
Bincang Alumni |
Bincang Alumni |
Penampilan Dosen |
Bincang Live |
Komentar
Posting Komentar