Karena Mnet Berulah Lagi, Kita Sedang Tidak Baik-baik Saja: Melihat Masalah Media, Agama dan Korea Selatan dari Twitter

 Oleh: Akmal Faradise

Sebut saja saya melakukan social media detox sekitar dua minggu pada Agustus lalu. Namun, akhirnya memutuskan untuk login kembali ... ke Twitter. Tidak ke semua media sosial. Entah kenapa, platform satu ini nyaman buat saya.

Rasanya, Twitter bisa menjadi ruang saya berekspresi dengan lebih jujur. Following, activity dan trending yang saya ikuti tidak serta merta berkaitan tapi ya sudahlah. Ada tiga tema besar bila dikelompokkan: tentang research, Korean Pop Culture (Kpop dan Kdrama), dan TI. Saya berdiri di tiga tema tersebut, berputar di tiap harinya, dan merasa senang –mendapat informasi dan hal menarik lain. Twitter juga platform bagus mencari humor cadas dan kritik pedas.

Selasa malam 7 September, #mnetapologize menarik perhatian saya di trending tab. Saya buka, kemudian merasa sedikit kesal sembari menghela napas. Sebenarnya kasus yang terjadi ini bukan yang pertama kali, dan sebenarnya sudah sering saya melihat pola serupa. Entah kenapa, malam itu saya kepikiran memantaunya dengan Drone Emprit dan mempelajarinya lebih lanjut.

Selain itu, mungkin secara tidak sadar keinginan menulis ini adalah respon akumulatif dari perasaan kesal melihat berita tentang industri penyiaran. Masalah Mnet berdekatan dengan masalah ‘glorifikasi media’ Saiful Jamil yang baru keluar dari penjara dan pelecehan seksual di tubuh KPI. Rasanya seperti diingatkan bahwa industri televisi (dari Korea Selatan sampai Indonesia) memang memiliki banyak irisan masalah: moral, rasisme, agama, muatan senada dan terkonsentrasi, konglomerasi digital, dll. Mungkin kita memang sedang tidak baik-baik saja.  

Mendudukkan Perkara

Apa yang sebenarnya terjadi? Begini. Ada sebuah akun Twitter @luotianguo yang mengunggah video potongan video teaser acara terbaru Mnet (salah satu stasiun TV di Korea Selatan). Di detik tertentu, terdengar backsong suara adhan/adzan/azan yang di-remix. Saya rasa cukup jelas terdengar, apalagi kalau pendengar adalah seorang muslim.

Adzan bagi kami termasuk hal sakral. Maka ketika disusupkan pada hal yang tidak sesuai konteksnya, apalagi dengan pengubahan, jelas mengundang amarah. Tidak mungkin saya bilang tidak terluka. Perasaan marah, tersinggung dsb. muncul sama persis semisal yang menjadi obyek adalah Al-Qur’an atau dalam kasus upaya ‘merekonstruksi’ wajah Nabi Muhammad SAW. Seperti yang sudah sering terjadi.

Kasus adzan tidak cuma kali ini saya temukan dalam bentuk remix. Sebelumnya kalau tidak salah ada pada video musik anime Kimetsu no Yaiba dan Noragami Aragoto. Video dimaksud sudah di-take down. CMIIW. Herannya, kenapa pola seperti ini selalu berulang? Seolah kejadian tentang remix adzan dan marahnya umat muslim tidak pernah jadi pembelajaran yang berharga atas hidup dalam keberagaman beragama.

Mnet juga, setahu saya, tidak hanya sekali ini ‘berulah’. Stasiun tv Korea Selatan ini sering melakukan hal yang, entah sengaja atau bagaimana, mengundang amarah publik. Untuk merangkum mungkin bisa dalam beberapa kategori: serangan ras/agama, mistreatment idol/pekerja seni, dan manipulasi voting. Mungkin saja, masih ada masalah lain yang mereka buat dan saya tidak tahu. Fyi, berita tentang Mnet yang melecehkan adzan ini dapat dilihat pada laman berita lokal di Indonesia meningat protes warganet di Twitter dengan tagar #mnetapologize sangat keras dan berbuah trending.

Respon Warganet: Pantauan Drone Emprit

Twitter dapat digunakan sebagai ladang riset media sosial. Selain karena APInya bisa diakses relatif mudah, juga karena Twitter bisa dibilang merupakan platform pergerakan. Banyak social media campaign berjalan masif dan sukses di Twitter. Pergerakan publik, sekaligus framing, mudah dilakukan di Twitter. Isu-isu tertentu dapat dilirik lebih mudah dan mendapat atensi luar biasa di platform ini. Seperti namanya, Twitter merupakan medium yang bagus untuk menarik animo masyarakat, seperti perhatian yang mudah teralih ketika mendengar banyak burung berkicau.

Faktor-faktor yang saya sebutkan kemudian memungkinkan data berikut kalian baca. Melalui Drone Emprit (DE), saya melihat bagaimana respon warganet atas skandal adzan Mnet tersebut. Beberapa kata kunci yang saya tulis: #mnetapologize, #mnet, #kpop, #adhan, #adzan. Saya memonitor pada beberapa rentang waktu, secara umum di awal September saat isu ini mengemuka. Melihat data pergerakan warganet di Twitter dapat membantu kita tahu apa yang mereka pikirkan dan lakukan atas isu ini.

Jadi, berikut yang bisa saya bagi.

Mention by Hour | DEA Data

Kita bisa melihat rata-rata cuitan di atas 15k. Jumlah cuitan mulai naik dari siang, dan stabil sampai sore. Sepertinya jam-jam rendah aktivitas digunakan  banyak orang untuk mengecek media sosial pun berpartisipasi dalam isu. Dari sudut pandang inisiator gerakan, maka cukup berasalan mereka memilih jam-jam tersebut.

Post by Emotion | DEA Data

 

Emotion Analysis | DEA Data

Sebenarnya tanpa melihat pantauan DE, saya bisa mengira secara umum responnya bakal begini. Kasusnya memang memancing pada emosi tertentu. Tapi dengan data ini kita bisa tahu seccara jelas banyak sekali orang yang marah, berapa tweet yang muncul pada saat tagar ini naik, dan kapan titik puncaknya. 

Bot Analysis | DEA Data

Biasanya para kpoper menggunakan ava idol favorit mereka, bukan foto asli. Tapi aktivitas tweetnya sangat organik. Dalam kasus ini, lebih banyak akun asli yang ikut serta. Saya rasa dari non-kpoper pun ada.

Negative Sentiments | DEA Data
Negative Sentiments 2 | DEA Data

Setelah kita tahu emosi apa yang menonjol dalam kasus ini, tentu kita bisa menebak kata-kata atau bunyi tweet yang akan muncul. Benar, kosa-kata kebun binatang dan pisuhan lain. Saya sejujurnya paham semua akun ini sedang kesal. Tweet yang ada memang banyak berupa rutukan. Umat muslim wajar marah. Tapi daripada sekedar menghujat, banyak variasi kritik yang bisa dipilih sebenarnya. Selain itu, terlihat sekali narasinya dari sudut pandang Islam. Satu sisi ini jelas menunjukkan rasa keberatan. Tapi di sisi lain, penjelasan seperti ini tidak bisa menyentuh logika pihak bermasalah (Mnet). Sebab frasa adzab, misalnya, punya makna yang khas dalam Islam dan tidak selalu sama pemahamannya dalam agama lain.

Hashtags | DEA Data

Tagar yang terbentuk tentu tentang kasus ini. Namun, beberapa tagar yang tidak berkenaan, juga ikut terseret. Kata ‘kpop’ saya rasa menjadi pengikat itu semua. Semua hal yang berhubungan dengan kpop jadi diperbincangkan. Meski kita bisa lihat secara esensial masalah ini bukan tentang ‘kpop yang biasa dinikmati kpoper’ tapi lebih ke lanskap industri hiburan, tepatnya dalam bidang penyiaran.

Mnet dan Korea Selatan: Kira-kira Kenapa Begini?

Awal saya tahu adzan ini, reaksi saya cuma ‘hadeeeh’. Kesal tepatnya. Kesal karena tindakan Mnet dan kesal karena pola ini berulang lagi. ‘Kok adzan lagi sih?’.

Akhirnya memang saya memutuskan untuk menulis karena geregetan, sih. Ingin berkomentar, tapi lebih panjang. Kemudian pada sekian keresahan, saya berspekulasi.

Bagaimana kalau misalkan hal ini trik marketing saja? Akun yang menyebarkan video tersebut sebenarnya dari pihak Mnet, terus bernarasi bahwa Mnet melakukan pelecehan agama. Sebab kita tahu, bad news is a good news. Untuk beberapa waktu, karena video tersebut, hasil pencarian tentang Mnet dan percakapan related to Mnet bisa naik di media sosial. Saya agak curiga karena akun yang menyebarkan adalah akun baru dan tidak memiliki banyak followers. Tidak begitu aktif bercuit juga. Selain itu, saya tidak menemukan potongan video dimaksud pada akun Youtube Mnet.

Tindakan ini bisa dikatakan praktik manipulasi media, yang memang tidak mustahil dilakukan. Apalagi dengan posisi Mnet dan isu yang mereka singgung, mereka bisa ‘memancing’ pihak yang berpotensi menaikkan percakapan tema tersebut secara masif di media sosial: Kpoper, penduduk Indonesia, dan Muslim. Atau bisa juga, orang-orang dengan tiga identitas tersebut sekaligus. Lalu, ketika sudah terlanjut ramai, Mnet ‘tinggal’ minta maaf. Ya kan? Meminta maaf memang lebih mudah daripada meminta izin bahaha.

Well, pada akhirnya saya tidak bisa membuktikan hal tersebut. Bisa saja cara saya kurang tepat mencari informasi yang saya butuhkan atau sumber aslinya sudah di-take down. Sudahlah.

Terlepas hal tersebut itu settingan atau tidak, tetap saja hal itu melukai saya. Selanjutnya, Mnet sudah melakukan permintaaan maaf atas masalah tersebut di akun Instagram mereka. Tapi ada hal yang menjadi titik perhatian saya pada permohonan maaf tersebut.

Permohonan Maaf Mnet di Instagram Mereka

Pertama, adzan sebagai electronic soundtrack terdaftar di streaming platform. Like .. what? Saya tidak bisa buktikan Mnet beralasan saja atau memang demikian adanya. Jika hal tersebut dijadikan alasan, ngelesnya niat sekali. Jika memang kenyataan, saya ngga habis pikir siapa yang mendaftarkan remix adzan sebagai sebuah electronic soundtrack? Apabila hal ini benar, berarti banyak sekali tindakan oknum yang melecehkan Islam –dengan sengaja dan niat atau tidak sengaja karena memang tidak disiplin verifikasi. Siapapun yang mengunggah remix tersebut, dimungkinan ‘memusuhi’ Islam atau dengan alasan normatif (uang, eksposur, ekspresi) menghalalkan segala cara untuk tujuannya tanpa berpikir lanjut.

Kedua, proses produksi Mnet. Permohon maaf tersebut menyatakan pihak produksi menggunakan remix tersebut karena dirasa sesuai. Pernyataan tersebut bisa kita lihat pihak Mnet tidak melakukan verifikasi yang cukup. Asal bagus aja, pasang, beres. Mungkin kita bisa melihat hal ini lucu mengingat stasiun tv besar seperti Mnet kecolongan. Tapi saya rasa, ini sebenarnya memang pola pikir umum orang Korea Selatan. Dan pola seperti ini cukup sering terjadi seperti kasus Jay Park dan CL.

Terkait masalah remix adzan ini, saya pernah berdiskusi dengan guru-sahabat-saudara saya, hyung Ahmad. Beliau adalah seorang Elf, Nahdliyin, dan peneliti bidang energi terbarukan. Beliau bilang bahwa orang Korea punya kecenderungan untuk membanggakan budayanya sendiri. Mereka menganggap budaya mereka terbaik. Ada kesan jumawa. Karena itu, mereka tidak terlalu tertarik dengan budaya lain. Saya juga pernah sekilas membaca pada abstrak jurnal, orang Korea menganggap mereka keturunan ‘dewa matahari’ atau semacamnya. Bisa dicari lebih lanjut kalau penasaran.

Nah, hal ini kemudian bisa menjelaskan kenapa mereka tidak disiplin verifikasi, salah satunya dalam kasus remix adzan tadi. Sebab, mereka tidak merasa tertarik untuk tahu. Jadi ada isu superioritas dan ‘kemurnian ras’ di balik skandal ini. Saya lupa istilah pastinya tapi pernah mendengar di sebuah webinar. Tersebab Korea secara geografis diapit China dan Jepang, maka secara psikologis muncul sikap membanggakan atas budayanya. Mungkin saya tidak bisa melakukan generalisasi, tapi saya rasa secara umum demikian.

Apabila dikatakan hal ini SARA, memang iya. Tapi saya rasa, ras dan agama itu masalah sebuah bangsa, deh. Negara lain juga punya sentimen ras tertentu atau juga isu islamophobia, misal. Dalam kasus Korea Selatan, contoh rasisme terjadi di tubuh agensi, perlakukan kurang setara pada trainee non-korea. Sebuah beban tambahan di luar ketatnya proses training dan kemungkinan gagal debut.

Membicarakan Korea Selatan mungkin akan menyeret Kpop juga sebagai bahan perbincangan. Ini tidak mengeherankan. Bernie Cho menyebutkan bahwa Kpop (atau lebih tepatnya industri hiburan) merupakan salah satu dari tiga besar budaya yang diekspor ke luar Korea Selatan. Wow. Kpop dikatakan berbibit pertama dari Itaewon, tumbuh dari perpaduan banyak budaya di daerah dengan potensi akulturasi budaya yang tinggi tersebut. Nah ini strukturnya untuk gambaran. Saya pernah ikut webinarnya, tapi ngga tangkap layar. Terima kasih buat Fatimah Vitri Imania atas tulisannya.

Slide Presentasi Mr Hojai Jung, ditangakap layar oleh Vitri

Mungkin orang-orang yang tidak membaca tema pop culture, akan terbayang BTS dan Blackpink jika mendengar negeri gingseng tersebut. Padahal yang bisa kalian ‘bucinin’ banyak LMAO. Bagi penikmat pop culture, Kpop lebih dari sekedar musik, tapi juga visual, dan artwork. Kpop tentang fandom dan juga kerja keras. Simak di video ini untuk lengkapnya.

Joon Park dalam sebuah video dokumenter menyebutkan mengenai relasi fandom dan idol. Formula kesuksesan sebuah grup itu kira-kira begini: pertemukan apa yang fans inginkan dengan apa yang mau kamu beri. Temukan titik tengahnya dan ketika match, boom! Fans akan militan pada idol dan bagi idol, fans adalah sumber semangatnya. Dalam kondisi tertentu relasi ini bahkan menguat seperti sebuah ikatan keluarga.

Nah, relasi antar idol dan fans ini dapat menjelaskan kasus Mnet tadi, tepatnya tentang advokasi warganet. Industri Kpop tentu berkaitan dengan stasiun tv sebagai salah satu elemen penting di dalamnya. Dalam kasus manipulasi voting program pencarian bakat misalnya, fans akan bertindak melakukan protes. Acara dengan format dimaksud biasanya menimbulkan kedekatan antara calon fans dan calon idolnya, fans berperan untuk ‘menciptakan’ idol mereka sendiri. Fans akan menjadi, entah bagaimana, sangat detil memperhatikan segala proses audisi. Maka ketika ada keanehan dalam prosesnya, fans bisa sadar dan melakukan protes. Loyalitas sudah terbentuk.  Maka dengan energi yang sama, jika pihak seperti stasiun tv melukai identitas mereka, para fans akan melakukan protes juga. Fans dalam ekosistem kpop punya kekuatan untuk membentuk industri dan arah kpop. Mereka juga seperti pengontrol, di luar kesibukannya untuk menghalu dan mendukung idolnya.

Respon Kita

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mengingat kejadiannya sudah selesai, ya udah lah hahaha.

Tapi, kita bisa menjadikan ini pembelajaran. Saya mungkin tidak bisa menyarankan tindakan tertentu kalau kasus semacam ini berulang. Hanya saja, saya berupaya mengajak agar kita semua paham kondisinya dan paham apapun tindakan yang kita lakukan.

Ketika kasus adzan mengemuka lagi, tanyakan pada diri sendiri ‘emosi apa yang kurasakan?’. Kesal? Marah? Saya juga merasa demikian, plus terbesit penasaran.

Kalau kita marah atau kesal, apa yang sebaiknya kita lakukan? Saya rasa yang bisa kita lakukan dan pilih adalah menyuarakan kritik, berkekspresi. Mengingat dalam kasus Mnet, lokasi stasiun tv bermasalah tersebut ada nun jauh di sana, beraspirasi secara daring lewat media sosial bisa dipilih. Twitter bisa menjembatani hal itu.

Lewat Twitter, anak Kpoper biasanya ‘naikin HT’ agar eksposur dari kasusnya makin luas. Ketika sebuah tagar masuk trending tab, potensi diketahui orang lebih tinggi. Semakin banyak yang tahu, harusnya semakin banyak yang ikut beraspirasi hingga akhirnya bisa didengar oleh pihak Mnet. Tagar dan mobilitas akun dalam cuitan menjadi penting di sini.

Apa isinya? Berdasar pengalaman kejadian ini, maka narasi yang bibentuk adalah bahwa umat muslim tersinggung.  Sampaikan pada bagian mana yang membuat kita tersinggung, sembari mengedukasi tentang agama kita pada teman-teman beda agama. Persoalan apakah tonenya sarkas atau kasar, saya tidak bisa berkomentar. Ada yang mencuitkan beberapa kata kasar dalam proses kritik ini. Saya paham bahwa itu ekpresi kesal atau marah. Namun kalau saya pribadi akan memilih tone narasi lebih kalem dengan kritik yang lebih on point. Walau itu tidak saya lakukan kemarin bahaha.

Di luar itu, yang penting juga kita perlu tahu siapa sasaran kritik kita. Dalam kasus Mnet, mereka sebagai stasiun tv yang bermasalah. Arahkan kritiknya pada mereka. Soalnya, ada juga yang malah menjadikan situasi ini untuk membuat-buat validasi Kpop itu bermasalah. Dan yang disasar salah satunyan BTS. Saya tentu saja herman sekale. Masalah berpusat pada stasiun tv tapi salah satu grup idol (yang ada di korea selatan) kena serang. Padahal tidak ada hubungan sama sekali LOL. Rasanya seperti menjadikan hal kasuistik untuk membuat kesimpulan general. Sungguh tidak sistematis cara berpikirnya. Tapi tenang, tidak semua warganet se-kolot itu LMAO.

Kita tahu bahwa kohesivitas anak kpoper atau juga anak muda sekarang di media sosial saat ini begitu tinggi. Rasa kebersamaan atas suatu hal dapat diubah pada bentuk gerakan, yang pada gilirannya bisa menjadi salah satu bentuk penyelesaian masalah.

Selanjutnya kita bisa belajar bahwa di era internet saat ini tidak ada hal yang sederhana dari sebuah fenomena viral. Ada sesuatu yang mendasarinya dan hal itu bisa dilacak. Bahkan, warganet bisa ikut untuk memengaruhi fenomena tersebut, entah mem-blow up-nya atau mengehentikan sama sekali –seperti yang dilakukan anak Kpoper atau siapapun yang ikut mengadvokasi kemarin.

Acknowledgement

Tulisan ini dapat hadir di hadapan pembaca berkat data dari Drone Emprit Academic (DEA). Terima kasih kepada Bapak Ismail Fahmi (pengembang), Tim DEA dan Universitas Islam Indonesia (UII) yang telah mendukung riset lebih lanjut mengenai social media dan big data.


 



Komentar