Perjalanan Mengitari Tempat Baru: Pengantar Potensi Wisata
Tertangal 07 Juli 2016 senada dengan 2 Syawal 1437
Sepertinya, ada anugerah Tuhan yang hampir kulewatkan atau
tepatnya salah kutanggapi. Liburan. Yap masa libur KKN ini sepertinya Tuhan
berikan padaku agar tubuh ini bisa rehat dari segala gala gala gala galanya. Haha.
Jadi, siang tadi kulupakan hal yang berat dan bercokol di pikiran lalu fokus
untuk cari angle foto plus menikmati landscape ciptaan Tuhan.
Gokil ra?
Hari ini aku ada di Pamekasan, rumah nenek. Saat jam mulai
beranjak ke pukul 10 siang, sepupuku mengajakku untuk safari. Entah sepertinya
dia sumpek di rumah terus. Ide bagus itu kuiyakan, segera kubersiap dan kami
berdua menaiki motor barunya.
Tujuan pertama adalah SPBU di daerah Kaduara, motor sepupuku
perlu asupan bahan bakar. Kulihat dia tidak benar-benar mengisi sampai penuh,
secukupnya saja. Kami melintasi Talang Siring selepas mengisi BBM. Pantai penuh
orang sesak, ada orkes dangdut (orkes bahasa Indonesia kan?) dan air sedang
pasang. Semua kondisi kompleks itu sontak membuat otak kami berdua bersuara
“ogah aku kesana. Cari tempat lain aja”. Walhasil, kita hanya melewati Talang
Siring dan menyusur jalanan ke arah selatan.
Di kiri jalanku, terdapat banyak hutan mangrove yang panjang
membentang. Namun sayang sekali hutan mangrove ini hanya sekedar hutan
mangrove. Aku terpikir andai saja dikelola baik seumpama hutan mangrove
Kuloprogo yang diberikan jalan titian bambu membelah hutan, tentu ini bisa
menjadi obyek wisata baru yang menyenangkan. Ya setidaknya, hutan mangrove akan
berfungsi lebih daripada hanya sebagai media penahan abrasi.
Semakin jauh ke selatan, pinggir jalan di penuhi tambak
garam. Disini, garam merupakan salah satu komoditi utama peningkatan kapita
penduduk pesisir. Cuma, yang kami lihat hanya petak kosong. Sepertinya masa
panen telah usai.
“Eh mau ke tempat bagus enggak? Buat foto-foto” sepupuku, Hendra
namanya, memberikan usulan. Kuiyakan saja mengingat aku belum pernah menelusur
daerah ini. Hendra membawaku terus ke arah selatan hingga suatu tempat bernama
Pandan.
Sayangnya moment kami kurang tepat. Sebelumnya, Hendra pernah
berfoto disini dengan autumn setting. Pohon di kanan-kiri jalan waktu
itu sedang meranggas karena musim. Kali ini hijau daun mewarnai sepanjang
jalan. Namun, nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan? Wonderful. Tambak
ini kelihatan hijau. Kami serasa di sebuah pulau. Nope, I mean side out. Landscape
ini kuabadikan dalam foto. Cekrek.
Tujuan utama kami adalah ke Pantai Jumiang. Namun kami harus
mampir ke rumah sepupu, Kak Sofi (yang sejatinya adalah kakak Hendra). Jadi
kami tidak bisa lama-lama disini. Hendra pun tancap gas.
Setibanya di rumah kak Sofi, aku memberikan pesanan Ibu
kepada Istrinya. Selama di sana, aku dan Hendra disuguhi berbagai macam
cemilan. Rasanya suasana lebaran memang begini, hawane ngejak ngemil.
Josh. Sementara Hendra lebih memilih bertukar informasi seputar pasar Love Bird
bersama kak Sofi. Not my interest, aku cuma melakukan kunyahan dan kunyahan.
Kan sayang banyak jajan diatas meja masa dianggurin?
Selang beberapa waktu kemudian istri kak Sofi menyuguhi kami
bakso produksi rumahan. Katanya, mereka bosan tiap tahun lebaran dirayakan
dengan menu ayam atau sapi (padahal dalam bakso ada daging sapinya juga). Ya
mungkin variasi menu perlu ada agar lidah tidak kaku karena terlalu sering
mencicipi rasa yang gitu gitu aja. Selepas makan kami shalat dhuhur dulu lalu
berangkat ke pantai. Oh ya, kak Sofi dan keluarga juga ikut. Ada adik iparnya,
mas Yoga-Yogi, yang juga meramaikan perjalanan ini.
Rute menuju pantai tidak terlalu jauh. Aku tidak tahu kalau
diukur kedalam kilometer cuma misal dengan waktu, perjalanan hanya butuh waktu
15 sampai 20 menit berkendara dengan kecepatan sedang. Maklumlah santai, kan
liburan jadi engga perlu buru-buru seperti saat kesiangan mau ke kantor. Eh?
Sampai di area Jumiang, kami membayar biaya retribusi wisata.
Tiap orang dikenakan cash sebesar Rp. 2000,-. Wisata ini sepertinya
terbagi ke beberapa tempat. Ada sepanjang pantai, ada pula yang tebing pandang.
Yang kami singgahi pertama adalah tebing pandang.
Hal unik tentang kompleks wisata Jumiang adalah jika pasangan
(tunangan atau pacaran) muda-mudi berdua ke tempat ini, beberapa waktu
setelahnya hubungan mereka akan kandas. Wkwk. Entah benar atau tidak tapi
bagaimana pun mitos tersebut tidak akan berpengaruh padaku atau sepupuku
hyahaha. Mitos ini dikaitkan pada sebuah makam yang berada di lokasi tebing
pandang ini.
Sejujurnya aku sulit mengatakan ini tempat apa. Istilah
tebing pandang itu secara spontan aku ketik, terlintas begitu saja di kepala.
Sebab di tempat ini kamu bisa memandang jauh laut selatan Madura dan tempat ini
merupakan sebuah gundukan tanah berkarang yang disesaki oleh pepohonohan.
Menurutku ada potensi wisata yang bisa digali disini dan juga
ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Kebersihan perlu dijaga agar lokasi tidak
kotor, rumput dan pohon liar di pinggir tebing perlu dibabat agat pandangan
mata luas tanpa halangan, menempatkan gardu pandang di samping tebing dan
memagari lokasi tebing. Kondisi yang ada hanya seakan memberi kesan bahwa
wisata ini kurang mendapat perhatian baik dari masyarakat maupun pemerintah. Lebih
ironis lagi, lokasi ini hanya seperti pasar dimana banyak orang berjualan.
Akhirnya pertanyaanku, daya tariknya dimana sih?
Cukup lama kami di tebing ini. Hingga sore menjelang, hanya
hembusan angin yang menemani cengkrama kami semua. Aku pribadi merasa hembusan
ini kencang. Terlalu lama bisa membuat masuk angin. Aku juga kebingungan
mencari angle yang menarik untuk di foto. Hingga akhirnya kak Sofi mengajak
kami semua berpindah ke bagian pantai. Maka, meluncurlah kami semua.
Rencananya, kami disini berencana menaiki banana boat. Tapi
kondisi kurang mendukung; pantai rame dan kami harus antre untuk mencoba
wahana. Finally, rencana itu gagal dan aku hanya berfokus hunting foto. Cuma,
susah juga mencari view. Sepupuku bilang bahwa dulu kondisi pantai masih memilki
pasir halus yang membentang. Sekarang airnya pasang dan sepanjang pantai
bertebaran batu kerikil besar. Entah dari mana. Mungkin dari jalanan yang
perlahan terkena abrasi.
Akhirnya karena obyek wisata tidak sesuai ekspektasi, kami
semua pulang dengan membuang kecewa. Kecewa ada tapi tidak berguna. Satu hal
yang paling saya ingat dan catat adalah bahwa kondisi wisata daerah
non-metropolitan masih sering tidak terawat dan terkesan seadanya. Sepertinya,
Indonesia memang memiliki masalah dalam hal pengelolaan yang ironisnya rata di seluruh
negeri. Wow.
Dear pemerintah daerah,
Tulisan ini bukan bermaksud menggurui tapi saya yang awam
merasa prihatin dengan kondisi yang ada. Semoga bersama kita bisa membenahi hal
ini.
Contoh View yang perlu diberdayakan di Tebing Pandang Jumiang |
Komentar
Posting Komentar