Aku chatting dengan Bapak Menteri!
Pamflet Kegiatan | Source: Instagram IndonesiaBaik.id |
Ahad kemarin (15 Oktober), saya
diajak teman mengikuti FIRAL. Firal (Festival Literasi Digital) sepaham saya
merupakan acara Kominfo yang diadakan di UGM. Firal dibagi dua sesi, Master
Class dan CreaTalks. Sesi Master Class dibagi pada empat kelas dengan tema
berbeda. Teman saya, sebut saja Fwri, ikut kelas ke-empat yang berisi mengenai
cerita salah satu founder KokBisa (salah satu channel edukasi di youtube) tentang
konten digital yang berdaya jual ekonomis. Sementara saya mengikuti kelas dua.
Sebenarnya bisa dibilang saya salah masuk tapi ya sudahlah ilmunya juga saya
serap. Pemateri di kelas saya, Mas Iqbal (dari Tim Siber Pramuka) banyak
bercerita mengenai bagaimana membuat konten berupa video selama enam puluh
detik. Master Class berakhir saat tengah hari.
Lepas istirahat makan siang dan
shalat dhuhur, CreaTalks dimulai. Sesi ini memiliki beberapa bagian, dibagi
berdasarkan beberapa pemateri. Pertama, sesi dimana Bapak Menteri Kominfo, Rektor
UIN Syarif dan Mas Samuel Rizal (artis) memberikan komentar mengenai kehidupan
masyarakat digital dan bagaimana seharusnya menggunakan teknologi informasi.
Kedua, ada sesi yang diisi oleh Kominfo mengenai gerakan digital masa kini dan
bagaimana kita dalam ruang siber. Ketiga, talkshow ceria oleh komika Taretan
Muslim dan Gerald Sebastian (KokBisa channel)
mengenai tips membuat konten menarik di Youtube.
Ada satu hal menarik yang saya catat
saat Bapak Rudiantara, Menteri Kominfo, menyampaikan materi. Beliau mendorong
kami untuk menggunakan aplikasi perpesanan buatan anak bangsa dan
“meningggalkan” aplikasi perpesanan buatan luar Indonesia. Kerennya, wacana
beliau sudah diterapkan di kementerian. Akhir tahun ini, komunikasi di kementerian
(setahu saya di Kominfo) menggunakan aplikasi buatan lokal. Sepenuhnya.
Aplikasi tersebut bernama PesanKita.
Hal yang tidak diduga ketika sesi
ini, Bapak Menteri memberikan nomor kontak dan emailnya ke peserta. Beliau juga
menegaskan kalau kita chat beliau, beliau
pasti membalas pesan kita walau pun tentu tidak akan fast response. Ya iyalah kita siapa? Sadar diri lah. Hahaha. Berkat
hal ini, keisengan saya pun tumbuh.
Pertama saya ingin install aplikasi PesanKita karena
penasaran. Penasaran harus tuntas biar kita ngga jadi arwah kan? Kedua, saya
ingin melihat kira-kira apakah bapak Menteri akan membalas pesan saya. So,
keesokan harinya rencana saya jalankan. Aplikasi pesan kita saya install, bapak Menteri saya chat. Ya isi pesan saya memang hanya
ucapan support kebijakan beliau
mengenai penggunaan aplikasi perpesanan buatan lokal. Dan bagian mengejutkannya
adalah bapak Menteri menjawab pesan saya!
Saya tahu mungkin terkesan biasa
saja bagi anda. Tapi bagi saya ini suatu hal yang membanggakan. Saya yang bukan
siapa-siapa ini pesannya dibalas oleh bapak Menteri. Yah meski pun hanya
membalas biasa saja sih. Setidaknya beliau memang menepati ucapan yang sudah
disaksikan ratusan orang di Hall Fisipol UGM.
Anda tidak percaya? Silakan temui
saya. Saya bisa menunjukkan rekam chat-nya.
Toh ngga saya hapus. Saya tidak bisa menunjukkan screen capture-nya karena pertama, itu melanggar privacy dan kedua, nah inilah fitur
keren PesanKita. Aplikasi ini punya fitur dimana chat tidak bisa di screen capture. Jadi aman-aman aja deh
pesan di hp engga ada yang nyebarin. Plus fitur enkripsinya bagus.
PesanKita secara tampilan biasa
saja sih menurut saya. Ketika sudah mendaftar dengan nomor, kita akan masuk ke
tampilan awal berwarna merah putih yang hanya menyisakan dua tab; satu tab
obrolan dan satu lagi tab kontak. Hanya kontak orang yang menggunakan PesanKita-lah
yang akan muncul. Tidak ada foto profil disini. Satu sisi ini kebijakan privasi
karena yang akan mengontak kita hanyalah orang yang kita kenal, satu sisi saya
rasa bikin bingung. Fitur attach-nya
lumayan lengkap, dari foto sampai dokumen. Di pojok kanan atas ada opsi untuk refresh, buat grup baru, undang teman untuk
menggunakan aplikasi, impor-ekspor pesan, dan settting. Setting-nya
lumayan lengkap; ada pengaturan privasi dan setting
dasar. Anyway, saya cuma kasih
komentar bukan review. Kalau kamu penasaran
bisa coba install. Saya sih suka dan
lumayan oke.
Hal menyebalkannya adalah saya
kembali dihadapkan masalah yang sama ketika install
aplikasi lokal; pengguna. Teman-teman saya masih banyak yang belum menggunakan
aplikasi lokal. Mereka punya pendapat masing-masing mengenai install aplikasi lokal. Ada yang bilang
belum baik, ada yang bilang ribet karena akan banyak menggunakan aplikasi pesan
berbeda padahal kontaknya sama. Ada yang bilang penggunanya sedikit. Yang cukup
miris sih bagi saya (dan kasihan) tentu saja teman-teman yang gagap teknologi
informasi. Pengetahuan mereka mengenai hal ini minim. Dampaknya adalah jika
saya menggunakan aplikasi lokal tapi teman-teman saya tidak ada yang
menggunakan, saya mau chatting dengan
siapa?
Akhirnya, saya mengajak teman saya
untuk menggunakan aplikasi lokal. Tapi respon ketertarikan mereka sangat minim.
Lama-kelamaan, saya uninstall aplikasi tersebut karena tidak bisa berkomunikasi
dengan teman sendiri. Apakah akhirnya PesanKita akan saya uninstall? Saya tidak tahu. PesanKita merupakan aplikasi lokal
kesekian yang pernah saya coba install
di smartphone. Semoga saja saya tidak merasakan kembali pahitnya tidak bisa
berkomunikasi dengan teman. Haha.
Ada masalah yang lebih besar
menurut saya mengenai aplikasi lokal. Jika aplikasi sejenis PesanKita banyak,
baiknya aplikasi mana yang harus kita pilih? Atau bagaimana mengakomodir hal
tersebut? Setahu saya aplikasi pesan lokal itu banyak. Sebut contoh ada Catfiz
dan Litebig. Para pengguna tentu akan memilih sesuai dengan kebutuhan dan
penilaian mereka. Namun saya rasa ini akan berdampak pada ekosistem
pengembangan aplikasi lokal. Kita tidak di posisi saling bersaing jualan
aplikasi paling baik agar banyak penggunannya. Tapi ekosistem pengembangan
aplikasi negara kita sedang berkembang untuk maju agar tidak kalah dengan brand luar. So, bagian “bagaimana
mengakomodir” bagi saya masih menjadi masalah yang saya sendiri belum tahu
jawabannya.
Saya sempat kepikiran mengenai interoperability antar aplikasi. Cuma,
teknisnya bagaimana ya? Berhubung saya bukan anak TI, wacananya mentok deh.
Yang jelas adalah seberapa besar aplikasi lokal akan bertumbuh tentu tergantung
pada penggunanya. Developer lokal
akan terus berinovasi untuk menunjukkan bahwa value aplikasi mereka sekelas dunia. Bagian kita sebagai adalah
mendukung dan mengapresiasi dengan baik, minimal gunakan aplikasi lokal. Hemat
saya begitu sih.
Sebagai penutup, Saya pengen sih
ngomong begini, “Tahun depan saya sudah tidak menggunakan WhatsApp. Bagi yang
butuh saya, silakan hubungi via PesanKita atau mail. Diluar dua cara itu, saya
tidak bisa menjanjikan pesan anda terjawab”. Ajegile haha. Sayang sekali itu cuma
sebatas bacot di mulut doang, ngga bakal kesampaian.
La aku sopo jal?
Saya hanya rakyat biasa yang
berharap dengan cerita ini bisa ikut serta dalam kampanye “gunakan aplikasi
lokal”.
Salam.
Akmal Faradise. Content Creator di
The Annuqayah Institute Yogyakarta.
Yogyakarta, 19 Oktober 2017
Suasana Booth |
Yeay |
Komentar
Posting Komentar