Melihat Apa yang Terjadi pada Warganet Indonesia Lepas Real Count KPU

Sejak saya sudah menunaikan pencoblosan di bilik suara 17 April lalu, saya penasaran sekali apa yang akan terjadi setelah pengumuman real count KPU terkait Pemilu 2019 ini. Respon dan komentar masyarakat menurut saya menarik untuk dilihat, diamati, ditertawakan jika lucu, direnungi apabila berfaedah dan tak lupa memperbanyak istighfar tatkala menemukan respon/komentar yang pedas. Di mana bisa kita temukan semua hal tersebut? Dunia maya, lebih khusus media sosial. Jagat media sosial bisa saja ramai dan bising –banyak perang komentar, sementara lingkungan sekitar kita seolah tidak pernah terjadi apa-apa. 


Saya menggunakan google trends untuk melihat bagaimana gejala di jagat maya Indonesia pada rentang tujuh hari ke belakang. Hasilnya memang seperti yang saya prediksikan: ada pelonjakan aktifitas pencarian di tanggal-tanggal mendekati pengumuman real count KPU dan tema yang banyak dicari tentu berkenaan dengan Pemilu 2019. Berikut datanya (diakses 24 Mei 2019).
Trafik pencarian di internet dengan kata kunci ‘Pemilu 2019’
Tema yang dicari warganet terkait Pemilu 2019
Kondisi yang justru menarik bagi saya adalah ternyata pemerintah melakukan tindakan pembatasan akses terhadap media sosial milik Facebook dan anak-anaknya (Instagram dan WhatsApp) pada waktu-waktu jelang dan pasca real-count. Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk menghindari dan meminimalisasi penyebaran hoax utamanya lewat gambar dan video yang gampang memancing reaksi orang di tiga media tersebut. Kenapa khusus pada tiga media sosial tersebut? Begini data Daily Social.

  
Gambar di atas merupakan laporan Daily Social mengenai flatform yang rentan menjadi persebaran hoax di Indonesia. Di luar metode yang digunakan serta sampel responden yang mereka tarik, asumsi saya kondisi ini nyata di lapangan. Facebook, Instagram dan WhatsApp merupakan platform yang jamak digunakan di Indonesia. Data ini memang data 2018, namun saya rasa perubahannya hari ini tidak terlalu signifikan, dalam artian ketiganya masih tetap sering dipakai –dan sering jadi lahan basah hoax berkembang biak. Sampai tulisan ini dibuat, WhatsApp saya masih mengalami gangguan. Artinya, pembatasan akses pemerintah pada tiga platform ini masih ada. Dan sepertinya, kondisi ini tidak akan berubah apabila masyarakat belum kondusif. Begitu kira-kira. Pelarangan ini mungkin terkesan represif, tapi sekaligus efektif tangkal hoax. 


Apakah respon dan komentar masyarakat atas kondisi ini otomatis hilang? Menurun mungkin, hilang tidak. Media sosial yang bisa digunakan warganet Indonesia masih banyak, sebut saja  salah satunya Twitter. Media sosial satu ini banyak dipilih karena kita bisa dengan mudah melontarkan komentar, me-mention akun official secara langsung dan engagement antar pengguna relatif bagus. Isu kecil bisa ‘dikipasi’ sampai membesar. Satu orang bisa mengompori banyak akun. 

Berdasarkan data dari Drone Emprit Academic (DEA), kita bisa melihat bahwa di Twitter, kenaikan kicauan juga sama seperti tingginya seperti ditunjukkan google trends. Masyarakat Twitter juga terlibat dalam perselisihan online.
 

Ada lebih dari 400rb mention di Twiiter berkenaan dengan tema ini. Satu mention dapat dilihat sebagai satu tweet (walau tidak mesti). Jika kita asumsikan satu akun melakukan satu tweet/mention, berarti ada sekitar 400rb orang yang ikut berbicara mengenai hal ini. Atau ambil rerata setidaknya 50% dari data di atas, dengan asumsi satu satu orang melakukan banyak tweet/mention, maka kita bisa melihat sebenarnya tingkat kepedulian publik -yang ditunjukkan dengan berkomentar di media sosial- relatif besar. Orang-orang hari ini merasa perlu untuk menyuarakan hal tersebut. Ada indikasi bahwa literasi politik masyarakat, dalam tingkat yang sederhana, mengalami kenaikan. 

 
Namun kemudian ada kesenjangan di sini (lihat dua gambar di atas). Kota yang banyak membahas tema ini di Twitter, kemudian buzzernya, kebanyakan berpusat di Jakarta. Kita tentu tidak bisa menampik bahwa ibu kota juga merupakan panggung kontestasi politik utama di negeri ini. Dari data ini, kita bisa melihat kecenderungan bahwa literasi dan kepedulian masyarakat yang ada di Jakarta atas politik jauh lebih besar ketimbang daerah yang lain. 


Satu hal yang bagi saya membahagiakan adalah sentimen tweet lebih banyak yang netral. Masyarakat sepertinya lebih memilih untuk mendamaikan situasi daripada terus memanas-manasi suasana demokrasi kita kecuali situasu. Kemudian, apa saja tema (hashtag) yang muncul?


Terlihat cukup heroik? Bisa jadi. Narasi yang masyarakat memang cenderung berkubu. Namun bagaimanapun ini merupakan proses dalam demokrasi kita untuk jadi lebih baik. Reaksi penolakan hasil real count KPU oleh kubu 02 mau tidak mau menarik perhatian kita. Ada yang mungkin menyayangkan tindakan ini, ada pula yang mencibir. Namun bagi kubu 02, mereka sudah secara langsung berada dalam posisi terdzalimi dan menuntut kebenaran ditegakkan. Salah satu advokasi yang  dilakukan para pendukungg 02 tentu dengan blow up tema ini di Twitter, buat semua orang berbicara hal serupa. 
 
 
Data di atas mungkin tidak akan mengherankan bagi teman-teman yang aktif di Twitter. Bisa dibilang, bapak Nadirsyah Hosen memiliki engagement yang bagus di Twitter (dilihat dari jumlah re-tweet), dari tweetnya yang dianggap menarik, informatif, dan moderat bagi beberapa orang. Selain itu, data di atas menunjukkan bahwa orang biasa (bukan ‘public figure Twitter’) memiliki keaktifan yang cukup tinggi dalam berbicara tema terkait. Dengan tweet, orang bisa bisa langsung mengomentari ‘siapa’ pun. Bahkan orang dengan followers sedikit pun, asal tweetnya ‘re-tweet-able’, akan memiliki pengaruh (impression) yang besar juga. Lihat data berikut. Semua orang berpeluang menjadi ‘influencer’ suatu topik di Twitter, tinggal bagaimana dia putar otak agar engagement-nya naik.

Bagaimana selanjutnya?
Harapan saya tentu saja kondisi ini tidak semakin memburuk. Berita mengenai kericuhan dan data-data yang saya paparkan di atas, memunculkan potensi adanya tindakan makar. Sejauh yang saya tangkap, respon dan komentar warganet, utamanya dari kubu 02, masih tidak terima dengan hasil real count KPU dan berupaya melakukan beberapa tindakan –walau beberapa terkesan anarkis. Semoga saja ada langkah-langkah rekonsiliasi terkait hal ini. 

Saya pribadi berpikiran, siapapun yang menang dalam kontestasi pemilu 2019 punya potensi memenuhi janjinya kepada rakyat sekaligus potensi mengabaikan janji tersebut. Siapapun yang menang, berkewajiban mewadahi aspirasi dari pihak yang kalah. Sebab jika kondisi menang-kalahnya dibalik, kewajibannya akan tetap sama.  

KPU saya rasa menjadi pihak yang dirugikan dalam kondisi ini. Di luar metode dan kesahihan hasil real count, narasi tidak percaya kepada KPU yang dibangun kubu 02 merusak citra KPU sebagai lambang lembaga demokrasi, institusi pelaksana kegiatan pemilu. Dampak lanjutnya, KPU bisa mendapat stempel buruk dari masyarakat: hasil perhitungan KPU pasti akal-akalan, KPU bohong. Saat semua orang tidak percaya KPU, apakah kita harus mengubah merombak sistem demokrasi berikut mekanisme pemilu? Atau cukup menangkan saja yang merasa kalah, kelar semua perkara. 

Kondisi yang terjadi membuat saya ‘senang’ dan sekaligus merasa ‘dejavu’. Senang dalam artian partisipasi publik dalam merespon dan berkomentar atas situasi politik kita (di luar cara mereka melakukannya) relatif baik. Mereka menggunakan social media sebagai media kontra oligarki. Adanya media sosial hari dapat digunakan untuk menyampaikan kritik (atau lebih sering omelan) kepada pemerintah sekaligus sebagai kontrol –baik kepada pemerintah maupun kepada media massa konvesional. Warganet hari ini yang rata-rata milenial/digital natives tengah dalam proses belajar melakukan revolusi secara digital. Partisipasi ini bisa teman-teman baca di buku ‘Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital’ karangan Ross Tapsell. Bagian dejavunya? Situasi ini mirip dengan pemilu periode sebelumnya. Iya, itu saja. 

Paragraf akhir dari saya setidaknya berisi dua pesan. Pertama, gejala di media sosial dapat menggambarkan respon masyarakat terhadap hal tertentu. Di media sosial yang minim percapakan langsung, setiap orang bisa dengan bebas tanpa beban untuk mengeluarkan isi pikirannya. Di sini, menyaring apa yang perlu disampaikan begitu penting. Kedua, mari kita semua tetap mendahulukan persatuan dan kesatuan kita. Langkah damai masih dipilih, tidak harus dengan cara anarkis. Jika memang ada indikasi kecurangan dari KPU, mari selesaikan dengan prosedur yang ada, dengan damai. Persaudaraan kita sebagai sesama warga Indonesia sejatinya jauh lebih berharga dari syahwat membela junjungan. 

Semoga bermanfaat dan stay calm. 

Catatan

Sebagian besar data diambil dari Twitter menggunakan tools Drone Emprit Academic. Keyword utamanya adalah KPU. Data diakses pada 23 Mei 2019. 

Acknowledgement 

Tulisan ini dapat hadir di hadapan pembaca berkat data dari Drone Emprit Academic (DEA). Terima kasih kepada Bapak Ismail Fahmi (pengembang), Tim DEA dan Universitas Islam Indonesia (UII) yang telah mendukung riset lebih lanjut mengenai social media dan big data.

Bacaan 

Tapsell, Ross. (2018). Kuasa media di Indonesia: Kaum oligarki, warga, dan revolusi digital. Jakarta: Marjin Kiri.






Komentar