Canda Kita Di Perpustakaan

Source: Google Image


Di panggung itu, seorang pemuda tengah terduduk. Dari balik meja, iya dengan ringan menjawab setiap pertanyaan juri. Bicaranya lancar. Mudah baginya mempresentasikan tulisan yang sudah ia garap dengan sepenuh hati.

“Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukan bahwa kasus pelecehan seksual dan kekerasan anak di bawah umur tidak bisa selesai hanya dengan memenjarakan oknum yang didakwakan. Mentalitas menjadi penyebab utama terjadinya kasus-kasus diatas. Pemerintah sejatinya bisa lebih memerhatikan hal ini dan melakukan tindakan preventif sebab beban fisik maupun psikis atas pelecahan dan kekerasan seksual sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak dibawah umur..”

Dan begitu seterusnya sehingga waktu habis. Pemuda itu tersenyum dan turun dari panggung. Sorai dan applause penonton meriuh. Dia juga mendapat apresiasi dari juri atas presentasinya yang baik. Lalu dengan langkah anggun, dia bergabung bersama rekan se-kampusnya. menit-menit berikutnya adalah yang paling menegangkan; menunggu pengumuman pemenang.

Alhamdulillah lancar. Presentasiku baik. Tulisanku juga sudah kubuat maksimal. Selanjutnya tinggal berdoa, semoga usahaku dinilai baik oleh-Nya. Kalah-menang di perlombaan itu biasa, intinya telah kukerahkan segalanya” begitulah yang dia pikirkan.

Menit menit pengumuman itu terasa sangat lama. Semua peserta tampak tegang. Untuk lomba karya tulis nasional, tentunya apapun hasilnya memang membuat deg-degan. Tidak perlu menjadi juara satu, masuk juara harapan saja sepertinya sudah senang. Dan pemuda itu juga tidak berharap begitu tinggi.

Akhirnya panitia maju membacakan nama-nama pemenang LKTI, diurut dari terbawah. Namun, hingga juara harapan satu naik ke panggung, nama pemuda itu belum juga disebut. Dia cukup pesimis bisa meraih juara.

Juara tiga lalu juara dua. Lengkap sudah. Pemuda itu tersenyum lelah, pasrah. Jika sampai detik ini namanya belum dipanggil, berarti kemungkinannya untuk berdiri bersama mereka di panggung tinggal asa saja. Dia sadar kemampuannya.  Tapi apa mau dikata, sabar saja yang cuma dia lakukan saat itu.

“Dan Juara satu, lomba karya tulis ilmiah tinggal nasional kali ini adalah ananda yang bernama... Syarif Hidayatullah!!”. Applause penonton begitu menggelegar. Semua bersorak untuknya. Sedang pemuda itu masih mematung tidak percaya. Sesekali, ia mencubit lengannya sendiri, mungkin ini mimpi. Dia juga merasa mungkin saja dia salah dengar. Tapi kebingungan itu sirna tatkala MC mempersilakannya untuk menaiki panggung.

Syarif begitu senang akan hal itu. dia melakukan sujud syukur seketika. Lalu dengan gagah berjalan menaiki panggung dan bersiap menerima perhargaan atas prestasinya.

Saat acara selesai...

“Ilham mana ya? Udah berangkat enggak sih? Kok pesanku belum dibalas” Syarif duduk di taman depan gedung lomba. Dia menunggu teman se-kosnya, Ilham, untuk menjemput. Cukup banyak hadiah yang dia dapat. Perlu bantuan untuk membawanya.

“Eh Syarif Hidayatullah belum pulang yah?” suara lembut menyapanya dari belakang.

Syarif menoleh. Tak disangka, salah satu juara lomba menyapanya. Seingatnya, perempuan ini juara tiga.

“Eh iya belum saya masih menunggu teman. Dia mau jemput saya” Syarif menjawab. “Emm.. mbak Kamalia ya?”

“Iya betul. Kamalia Alice. Kenalkan. Panggil saya Alice yah” ia tersenyum hangat.

“Syarif Hidayatullah. Panggil saja Syarif. Salam kenal”. Syarif melipat tanga di dada, salam sungkem. Alice membalasnya. “Mbak Alice juga belum pulang?”

“Kita seumuran kan? Perasaan sama-sama semester 5. Panggil saya tanpa ‘mbak’, agar tidak terkesan berjarak”. Alice duduk di samping Syarif. “Boleh duduk disini?”

“Iya silakan. Kursi juga bukan punya saya. Haha” canda Syarif.

“Ah kamu..” Alice tersenyum kecil. Angin menabrak kerudung kuningnya. Ia terlihat anggun.”Saya lagi nunggu paman. Dia mau jemput saya kesini”
Syarif mengangguk. “Kamu asli Jogja ya?”

“Enggak. Saya asli Jawa Timur. Probolinggo tepatnya. Oh ya, kamu kuliah dimana? Aku UAD” Alice membuat percakapan semakin panjang.

Bagi Syarif, ini tidak masalah. Beruntung ada yang mengajaknya bicara sembari menunggu kawan yang belum muncul. “Saya kuliah di UIN” dengan sopan Syarif menjawab tanya Alice. “Eh kamu Jawa Timur juga yah? Sama dong. Saya Madura”.

Percakapan mereka terus mengalir lancar. Mereka saling bertukar cerita. Tulis menulis adalah tema dominan.

“Wah tadi presentasi kamu bagus loh. Keren” puji Alice.

Sejujurnya Syarif tak merasa telah melakukan presentasi yang keren. Dia hanya melakukan apa yang bisa dia lakukan, bicara apa adanya atas tulisannya. “Ah enggak gitu juga sih. Saya rasa lebih keren kamu tadi. Saya lagi beruntung saja lah. Pasti berkat doa orang tua yang maqbul”

“Itu faktor ekstern yang sangat berpengaruh. Tapi menurut saya, esensi doa orang tua kamu justru agar kamu menampilkan yang terbaik iya kan?” Jawaban Alice cukup membuat Syarif kelu. Kelu karena, sebenarnya dia tahu memang begitulah apa yang terjadi. Apa yang Alice katakan benar adanya. Syarif hanya ingin tak ingin terlalu dipuji.

“Ya kamu benar kok” Syarif tersenyum.

“Enggak nyangka kamu enak diajak bercanda” Alice menunjukkan wajah nakalnya.

“Loh kenapa? Memang saya kenapa?”

“Kamu terlihat pendiam loh. Setidaknya begitu dimata saya”. Sesekali Alice memeriksa handphonenya, memastikan ada tidaknya pesan dari pamannya. Dan ternyata memang ada. Pesan itu masuk sekitar lima menit yang lalu.

Paman sudah diluar hampir sampai, lima menit lagi :)

Begitulah bunyi pesan dari pamannya. Alice sedikit mengangkat alis. “Sejak kapan paman sedikit alay?

“Hm aku bisa minta kontak kamu enggak? Yah buat bertukar ilmu gitu”. Permintaan itu membuat Syarif terkejut.

Dimintai nomor kontak? Aw aw.. Saya harus reaksi bagaimana nih?” Syarif tertawa dalam hati.  Dia tidak menyangka Alice akan meminta kontaknya. Tapi tanpa banyak pertimbangan dia pun memenuhi permintaan itu. “Just a friend, right?”. Dia menguatkan diri, ada yang tak nyaman dari hatinya. Some good feeling. Or bad.

Tak selang berapa lama, mobil Fortuner hitam memasuki taman. Berhenti dengan pelan dekat mereka duduk dan membunyikan klakson.

Wajah Alice berbinar. Dari itu Syarif tahu bahwa orang dalam mobil adalah paman Alice. Jemputan sudah datang. Sementara dari belakang mobil terlihat motor Vario menyusul. Dari jauh, Syarif tahu itu temannya yang sudah datang menjemput.

“Aku pulang duluan yah. Ntar tak hubungi deh” Alice bergegas.

“Hati-hati yah. Iya silakan.” Syarif mempersiapkan barangnya untuk pulang.

#Dalam Fortuner Itu Terjadi Percakapan

“Dapat juara berapa cantik?” pria yang mengembudikan mobil itu bertanya pada anak di sampingnya.

“Tiga paman hehe” Alice cuma tersenyum.

“Wah keren dah. Kapan-kapan ditingkatkan lagi yah” Paman Alice menyemangati.

“Iya paman, doakan”.

Mobil itu melaju dengan ringan di jalanan. Tenang.

“Oh ya, tadi yang sama kamu itu siapa cantik?” Paman Alice biasanya memanggilnya cantik. Mungkin karena masih belum punya putri.

“Ah itu juara satunya paman. Anak UIN, dari Madura loh” Alice antusias menjawab. “Keren anaknya tadi pas presentasi. Menurut aku sih wajar dia dapat juara satu. Artikelnya juga bagus loh”.

“Dan kayanya tadi kamu nyaman banget bicara sama dia. Iya enggak cantik?”

“Iya paman. Anaknya baik, supel dan enak diajak ngomong. Entah ya, aku baru kali ini ngerasa seru ngobrol sama cowok”.

“Anak itu ganteng ya? Kayanya kamu udah dewasa cantik” Paman Alice tersenyum, sedikit usil.

Alice terkejut dengan kata-kata terakhir. Dia tahu benar apa yang dimaksud pamannya. Dia tidak menjawab. Wajahnya memerah. Alice menundukkan kepala dan diam tanpa kata. Senyum diam-diam terukir di wajahnya yang imut.

“Kalau wajah kamu begitu, kamu jadi makin cantik deh, cantik. Eh? Haha” Alice tetap tidak menjawab. Dia biarkan pamannya berkata apapun itu. Iya hanya perlu menahan rasa itu atau tepatnya menyembunyikan rona wajahnya dari paman yang usil. Dia melirik ke arah jendela mobil, menerawang jauh. Mungkin memikirkan seseorang.

#Sementara itu di sudut lain jalan raya Jogja, lampu merah memberhentikan motor Vario. Ada percakapan disana

“Rif, tadi cewek yang sama kamu siapa sih? Cakep tauk” pemuda yang mempunyai motor itu.

“Hamid Hamid... Kamu ini. Cewek terus ah” Syarif mencubit temannya.

“Aw..” Sepertinya cubitan itu cukup kuat. “Apaan sih cubit-cubitan? Dia siapa sih? Penasaran”.

“Dia juga salah satu juara lomba, juara ketiga”

“Anak mana sih? Kapan-kapan samperin yuk hehe” Hamid mulai berpikir sesuatu.

“Anak UAD” Syarfi menjawab pendek.

“Nah deket tuh. Hehe... Bisa bisa”. Hamid menancap gas motornya, lampu sudah berubah hijau lima belas detik yang lalu, dan bunyi klakson kendaraan di belakang mulai ramai. Syarif malas melayani canda Hamid.

“Eh Rif, kamu juara berapa ya? Ehehe...”

“Dua tingkat dari cewek tadi. Aku juara satu, dihatinya. Weeekkk” Syarif menjulurkan lidahnya. Terlihat sedikit kesal, plus jahil.

“Ih kamu... Awas ntar yah” Hamid hanya dongkol. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang adalah fokus di jalan.

#Satu Lingkungan Kos Kemudian

“Ah sampai juga” Syarif merebahkan tubuhnya, di atas alas lantai sederhana. Kosnya tak begitu kecil, cukup luas. Nyaman untuk dia tempati sendiri. Sampai nanti malam, Syarif kosong dari kegiatan. Lagipula besok dia tidak ada jadwal kuliah.

Isya telah sampai...

Syarif berjalan dari masjid ke kosnya setelah shalat isya berjamaah. Langit malam itu indah. Bintang bertaburan. Cerah, tanpa polusi cahaya. Jarang-jarang ia mendapat pengalaman demikian. Angin juga tak begitu menusuk tulang, dingin yang tepat. Sejuk semilir. Menemani Syarif.

Saat di kos, Syarif memeriksa iPhone-nya. Kebetulan ada pesan masuk, chat whatsapp dari nomor baru.

+62-8xx-xx-xxx-xxx
Salam. Ini Syarif kan? Disimpan yah nomor ini. (19.30)
Alice (19.30)
Syarif baru tahu setelah membacanya. “Iya ya, tadi aku cuma ngasih nomor. Enggak minta balik

Iya aku simpan. Siap. (19.31)

Makasih. Kamu senggang enggak?  (19.31)
Mau tanya beberapa hal nih. (19.31)
Boleh? (19.31)

Iya senggang. Kebetulan sekali. Haha (19.32)
Mau tanya apa? (19.32)
Iya boleh. Silakan. Selama bisa saya jawab, akan saya jawab kok. (19.32)

Syarif penasaran apa yang akan ditanyakan Alice. Lalu iPhone-nya berdering lagi.

Kamu ada info lomba lagi enggak? (19.34)
Pengen ikut nih hihi (19.34)

Oh ada kok. (19.35)
Tapi aku enggak bisa ikut hehe (19.35)
Aku kirim foto pamfletnya (19.35)
(foto pamflet) (19.35)

Wah makasih Syarif (19.40)
DL-nya masih sebulan lagi. Dan temanya aku bisa nih (19.40)
Eh kenapa kamu enggak ikut? Enggak seru nih (19.40)
Tapi ceritanya juga mau ‘balas dendam’. Hehe.. (19.41)
Just kidding (19.41)

Haha.. Keren Keren (19.42)
Di tanggal segitu aku ada kegiatan jurusan, panitia seminar nasional. Tepatnya seminar itu sehari setelah presentasi LKTI. Aku khawatir enggak fokus. Udah gitu dari sekarang persiapan sudah dimulai. (19.42)
Lagi pula aku enggak begitu tertarik sih sama temanya (19.42)
Haha... Alice, kamu sudah menang kok. Karena kamu mau ikut, sedang saya tidak. (19.43)

Oh begitu ya, iya mafhum (19.43)
Hm... begitukah. Ya aku akan tetap ikut kok. Tapi kamu ntar bantu ya kalau aku bingung mau nulis apa (19.44)

Eh? Iya kah? Iya saya bantu sebisa saya. (19.45)
Tapi saya yakin kamu bisa kok. Semangat (19.45)

Makasih... (19.47)
Eh iya, kamu punya blog enggak? (19.47)

Hm.. Ada. Kenapa? (19.47)

Apa url-nya? Mau tak lihat (19.47)
Akhir-akhir ini aku tertarik sama blog, pengen bikin. Entah kenapa (19.48)

Ini alamatnya: menujurumahalhikmah.blogspot.com (19.49)
Tapi isinya ringan saja. Ahaha (19.49)

Ok tak lihat yah (19.50)
20.10

Wah blog kamu bagus.. (20.10)
Keren loh. (20.10)
Ajari aku dong (20.11)

Haha... Makasih (20.22)
Lah di internet banyak ilmunya kok hehe (20.22)

Tapi aku lebih enak kalau langsung hihi (20.22)

Iya iya. Kapan kapan. Kamu nulis aja, ntar kan bisa tinggal post (20.24)

Beneran nih? Aku serius ya (20.24)

Iya, insyaAllah aku bantu. (20.25)

Sip makasih. (20.26)
 Oh ya, met aktifitas ya. Aku mau rapat dulu nih, rapat kegiatan weekend asrama. Malam ya (20.26)

Malam Alice. (20.26)

Syarif lega. Percakapan sudah selesai. “Tak kira mau tanya hal yang privatif. Nyatanya penting sekali tadi. Haha... Selamat”. Dia bergumam sendiri. Syarif mencari kesibukan. Malam itu dia senggang, tapi malam masih panjang untuk rebahan. Akhirnya, dia mengambil novel yang ingin dia tamatkan: The Heroes of Olympus, The Blood of Olympus. Sebuah novel karangan Rick Riordan yang menurutnya sangat menarik.

#Seminggu Kemudian, Loby Perputakaan UIN Suka

Jam menunjukkan angka sembilan. Perpustakaan sudah dalam aktifitasnya. Syarif duduk di sofa menunggu seseorang; Alice. Hari ini Alice akan berkunjung ke perpustakaan UIN Suka. Tujuannya adalah mencari referensi tambahan untuk karya tulisnya. Kebetulan, di perpustakaan UAD referensi dengan tema terkait kurang memadai. Alice pun memiliki kartu sakti, jadi dia bisa mengakses referensi disana.

Bisa dibilang, Syarif yang menjadi guide-nya. Dia juga harus membantu Alice menemukan referensi yang terkait. Plus, membantu Alice menambahi poin yang kurang dalam artikel.
Beberapa menit kemudian, Alice datang. Dia sendirian. Berkat rok cream, baju biru motif putih dan kerudung putih, Alice tampak anggun. Untuk beberapa detik, Syarif tertegun dengan pemandangan pagi itu, bidadari tanpa sayap masuk perpustakaan.

“Udah lama nunggunya? Maaf agak telat yah. Kejebak lampu merah” Alice menyapa sopan.

“Enggak sih. Baru aja” Syarif tersenyum. “Ayo ke lantai atas”.

Alice pun mengikuti langkah Syarif. Segera.

Mereka naik ke lantai 4. Di lantai inilah terdapat koleksi dengan subyek yang Alice cari. Syarif menuntunnya ke komputer OPAC (Online Public Access Catalogue).
“Ketik keywordnya yah. Terus cari lewat pengarang juga bisa”

Alice mengikuti petunjuk Syarif. Setelah dia tekan enter pada keyboard, muncullah berbagai judul buku (yang terdapat di Perpustakaan UIN Suka) dalam bentuk list. Alice menyeleksi beberapa. Syarif membantunya memilih buku yang tepat.

“Nah catat call numbernya dulu. Ntar baru kita cari di rak”. Syarif berusaha menjadi guide yang baik. ”Aku jadi ingat pas user education dulu. Haha”. Setelah beberapa buku dipilih, mereka mencarinya di rak. Tidak sulit mencarinya, sebab ada beberapa buku yang pernah Syarif pinjam. Selain itu, kebetulan stock buku yang ada masih banyak.

“Duduk disana yuk” Alice menunjuk meja baca yang masih kosong. Mereka perlu memeriksa buku yang sudah dipilih, mencari ada-tidaknya bahan yang diperlukan.

Alice dan Syarif saling berdiskusi. Mereka membicarakan tentang tema tulisan. Lalu mengomparisakan pendapat masing-masing. Buku-buku yang ada mereka baca. Dari sana, mereka mendapat tambahan informasi, tambahan ide untuk memperkaya tulisan Alice. Keduanya larut dalam kebersamaan yang seru.

Perpustakaan siang itu tidak begitu ramai. Apalagi di tempat mereka berbincang. Hanya ada lima sampai enam mahasiswa di sekitar. Keadaan lumayan sunyi itu melarutkan mereka, larut dalam canda tawa. Kadang serius membicarakan tulisan, tapi lebih banyak bercandanya. Tiba-tiba iPhone Syarif berbunyi.

Eh aku lupa belum nge-silent hp” Syarif mengambil iPhonenya, membuatnya dalam kondisi silent, lalu membaca pesan yang masuk. Dari temannya.

Dimana kamu? (11.12)

Perpus Univ lantai papat (11.12)

Aku kesitu yo (11.13)

Iyo (11.13)

Jeda itu membuat Alice menyadari sesuatu. “Ya Allah, ini kan masuk khalwat. Aduh. Kok bisa enggak sadar sih?”. Alice tampak gelisah. “Ya gimana lagi. Orang ini asyik diajak ngobrol. Dari awal juga aku enggak niat mau berduaan. Udah gitu, kita profesional nih, yang dibicarakan enggak cuma hal enggak penting. Iya enggak Tuhan?”.

 Syarif menangkap kegelisahan itu di muka Alice. “Kamu kenapa?”

Alice tidak menyangka Syarif akan menanyakan hal tersebut. “Ya enggak papa sih. Cuma enggak enak masa cuma kita aja disini?”

“Haha.. Banyak orang kok”

“Bukan gitu maksud aku”

Syarif terdiam sejenak. “Oh. Iya aku paham. Tapi ini tidak disengaja ya? Setuju?”

“Ya tapi gimana ya?” Alice masih ragu.

Syarif juga bingung harus bagaimana. “Mau disudahi?” Akhirnya itu yang bisa dia katakan.

“Eh tapi aku belum selesai” Alice semacam kurang rela. “Ya udah biasa aja deh. Ngomongin yang penting aja yah. Jangan kebanyakan guyon”.

Meski duduk mereka berseberangan (bukan bersebelahan) dan terpisah meja, tapi kondisi itu sedikit membuat canggung keduanya.

“Oh ya, gimana masalah blog? Aku enggak mau diajari?” pinta Alice tiba-tiba.

“Ah aku enggak bawa laptop. Enggak bisa nih”. Syarif terlihat merasa bersalah, ia takut mengecewakan Alice.

Tak lama, ada seorang anak datang membawa laptop. Ia menepuk pundak Syarif dari belakang. “Ayo ngapain disni??!!”.

Kontan  Syarif terkejut. Refleks lututnya bergerak dan membentur meja. Dukkk... “Aww...!! Hanif??!! Apaan sih ngagetin orang??” Syarif kesal bukan main. Hatinya terkejut, lututnya cenat-cenut.

“Sorry bro. Kalau iseng kan udah penyakitku tuh hahaha”. Hanif seakan tidak ambil pusing dengan rasa kesal Syarif.

“Halah...” Syarif merenggut. Sedang Alice hanya tertawa kecil melihat tingkah Hanif dan Syarif. Tiba-tiba wajah Syarif berubah. “Ah meski menyebalkan. Aslinya kamu ini si juru selamat sih”.

“Ha? Emang aku Yesus? Kamu ini!”

“Enggak gitu, laptopmu dipakai enggak? Butuh nih Nif”

“Iya kupakai, mau post entri baru di blog. Tapi ya itu aja sih yang penting.” Sampai detik itu, Alice masih teracuhkan. Semacam pihak ketiga yang keberadaannya belum dianggap terlalu penting.

Hanif mengambil posisi disamping Syarif dan menghidupkan komputer pangkunya. “Eh siang mbak. Maaf tingkahku barusan. Teman Syarif yah?” Hanif menyapa Alice.

“Eh iya. Temen? Ng baru kenal juga sih” Alice sedikit terkejut dengan pertanyaan Hanif yang tiba-tiba.

“Eh iya. Belum di perkenalkan. Nif, ini Alice. Anak UAD. Aku kenal pas LKTI kemarin” Syarif mengambil alih. “Dan Alice, ini temanku Hanif. Kami dulu satu pondok pas di Madura”.

“Hanif. Salam kenal” Hanif hanya tersenyum.

“Alice”.

“Nah Alice, ini satu angkatan dengan kita, Nif. Eh iya, dia mau minta diajari blogging. Kamu bisa kan?” Syarif menyikut temannya. “Hanif ini jago nge-blog loh Alice. Bulan lalu dia nge-trip gratis ke Lombok berkat tulisannya di blog. Tahun lalu pernah dapat juara 2 lomba blogging nasional. Aku juga banyak belajar dari dia kalau blog. Nah kita bisa sharing bareng nih”. Hanif hanya menunduk malu dan mengangguk lugu atas penjelasan panjang lebar Syarif tentang dirinya.

“Wuih... Keren keren. Kalian sahabat dan memiliki passion yang sama yah? Hihi..” Lalu alice memberi applause ringan.

Sejak Hanif datang, pembicaraan beralih pada blog. Mereka menganggap pembahasan artikel sudah rampung. Hanif sharing banyak tentang blogging pada Alice dan Syarif. Sembari post tulisan terbarunya di blog, dia juga memberikan tutorial. Berhubung Alice masih pemula, Hanif memulai dari pembahasan standard.

“Kamu ada email google enggak Alice?” Hanif bertanya.

“Ada kenapa?”

“Gini, aku sarankan kalau punya email google kamu bikin di blogger aja. Hosting web gratis banyak sih. Tapi aku lebih suka make blogger. Lebih paham juga sih kustomasinya. Haha” Hanif tertawa kecil. Lalu ia melanjutkan “Nah karena seluruh akun google tersinkronisasi, jadi gampang. Kamu punya email google, kamu bisa langsung buat di blogger. Gampang. Ntar yang diedit mungkin cuma profil dan layout. Btw, kamu juga perlu menentukan url untuk blog kamu”.

Alice hanya mangut-mangut. Sejauh ini dia paham penjelasan Hanif. Sebab Hanif langsung melakukan praktiknya.

“Di layout, itu tergantung kreatifitas kamu sih. Tapi saranku, buat tampilan blog itu sederhana, maksudku enggak alay. Because content is the king. Ini tab layout buat mengaturnya, ini tab entri untuk post tulisan baru...” Hanif terus melanjutkan penjelasannya. Alice menyimak dengan seksama, dan Syarif kali ini yang teracuhkan.

“Alice... Syarif... Lagi ngapain?” seorang perempuan datang menyapa.

“Athifa???” Syarif dan Alice bereaksi berbarengan. “Eh?” Dan keduanya saling pandang, cukup lama.

“Cie....” Athifa membuyarkan suasana itu. “Alice ngapain disini? Sama Syarif lagi. Mencuri gerakan. Eh, mencurigakan”.

“Athifa, kamu kenal sama Syarif?” Alice Heran.

“Apaan cie-cei? Kamu kenal sama Alice, Fa? Kok bisa?” Selidik Syarif.

Athifa menghela nafas. “Syarif, Alice ini teman se-pondokku pas di Probolinggo. Dan Sekarang kami satu asrama”. Dia lalu menoleh pada Alice “Dimana kamu kenal sama anak nyebelin ini? Dia teman sekelasku. Kamu tahu, tiap hari aku be-te karena harus ketemu dia”. Selanjutnya, Athifa tertawa.

“Hih. Kamu ini. Dasar” Syarif memasang muka dongkol, sedang Alice cuma tertawa kecil. Hari ini, banyak kejadian lucu baginya. Mereka bertiga terus berbicara, meluruskan keadaan. Saling bercerita tentang masa sebelum kuliah dan bagaimana sampai Alice dan Syarif saling kenal. Sementara, Hanif cuma bisa terdiam. Tak dianggap oleh ketiganya. “Ah gantian ya di kacangin? Haha”.

“Eh ada satu orang yang enggak disapa nih?” Sela Athifa tiba-tiba. “Namanya siapa mas? Jurusan?”

“Saya Hanif, anak MPI. Perkenalkan” Hanif tersenyum kecil. Dia beruntung tidak melulu dihadapan monitor.

“Oh ya, dari tadi ngomongin apa sih kok seru amat?” Selidik Athifa.
Merasa yang paling bertanggung jawab ini terjadi, Alice ambil suara “Gini, aku itu rencananya mau ikut lomba Tifa. Tapi di perpustakaan kampus referensinya kurang. Makanya aku kesini, plus minta tolong Syarif. Dari tadi ya bicara tentang tema artikel. Terus ada Hanif datang, kita lanjut bicara blog. Dan akhirnya kamu juga nimbrung”.

“Wah keren tuh. Udah selesai nih”.

“Kayanya udah sih. Iya enggak Alice?. Dan tutorial dari Hanif cukup membantu kan? Btw, kamu sedang apa cil?” Syarif biasa memanggil temannya Ocil. Alasannya karena Athifa sering mengusilinya.

“Iya udah sih Syarif. Makasih ya. Makasih juga Hanif” Alice tersenyum.

“Iya sama-sama” Jawab Syarif. Sedang Hanif hanya memberi kode jempol.

“Aku rencananya mau cari refensi buat presentasi Rif” sela Athifa.

“Makul Sejarah Filsafat barat bukan? Perasaan kamu kelompok kedua sebelum terakhir. Masih lama banget tuh”

“Iya bener Rif. Tapi kalau enggak kucicil dari sekarang malah enggak kelar-kelar nantinya. Hehe” Athifa nyengir. “Alice udah ketemu bukunya? Mau dipinjam enggak? Pakai KTM-ku aja. Aku gagal pinjam nih. Sayang dari perpustakaan enggak bawa apa-apa. Gimana? Dan aku juga mau pulang nih”

“Boleh. Saya suka.” dan Alice berkedip manja. “Syarif, Hanif, aku pamit pulang yah. Oh ya, kalian masih mau disini?”.

“Aku masih ada urusan sama Syarif disini. Mau cari refernsi juga. Jadi kami belum mau pulang” ujar Hanif.

“Eh bukunya jadi dipinjam ya Alice?” Syarif merapikan buku-buku, tanpa dikomando.

“Iyah. Pakai KTM Athifa tentunya. Hihi.. Yuk Athifa. Dah Syarif, Hanif”. Alice Melambaikan tangan dan berlalu bersama Athifa. Syarif dan Hanif membalas lambaian itu. “Sukses yah lombanya” Syarif setengah berteriak. Alice menoleh dan hanya melempar senyum yang lembut.

#Satu Bulan Kemudian

Siang itu, Syarif stay di convention hall (CH) UIN Suka. Dari pagi dia mempersiapkan beberapa hal untuk seminar. Seminar nasional itu akan dilaksanakan besok. Dia dan teman-teman satu jurusannya sedang mempersiapkan tempat, plus gladi bersih. Semua sibuk bekerja. Syarif sangat ingin acara ini sukses, ia ingin jurusan bisa menyelenggarakan kegiatan yang bagus. Jadi dia bekerja dengan maksimal bersama teman-temannya, totalitas. Saat shalat malam, dia memohon kepada Tuhan akan kesuksesan acara ini.

Entah kenapa waktu itu, dia ingat Alice. Mungkin karena syaraf ingatannya mengakses folder shalat malam. Kadang di sepertiga malamnya, Syarif juga mendoakan Alice. Doa itu terutama agar LKTI yang dia ikuti berjalan lancar dan Alice tampil maksimal.

Tiba-tiba, iPhone Syarif berbunyi. Ada pesan WA masuk. Saat dia buka... ternyata Alice. Pesan itu berisi suatu foto. Syarif membuka window chat-nya dan melihat foto yang Alice kirim.

Betapa senangnya dia ketika tahu bahwa foto itu adalah foto Alice memegang piala. Alice juara satu LKTI. Ada caption yang tertulis dibawahnya: Alhamdulillah. Saya berhasil. Ini juga berkat kamu juga, Syarif. Terima kasih ya.

Syarif bahagia sekali saat itu. Entah kenapa, berita itu mmebuatnya sangat bersemangat. Padahal bukan dia yang mengikuti lomba. Lalu dia membalas pesan Alice.

Alhamduillah. Selamat yah Alice. Ini semua berkat kerja keras dan doa kamu sendiri. (14.14)
:) (14.14)

Syarif mati kata untuk membalas pesan Alice. Emoticon senyum itu seakan memberi banyak banyak. Dia bingung harus membalas apa. Akhirnya, dia tak mengetikkan suatu huruf pun. Dan Syarif mencoba mengalihkan pikiran-pikiran anehnya dengan kembali bekerja.

Esok harinya....

Syarif berseliweran di ruas-ruas kursi CH. Pakaian batik cokelat dan celana hitam adalah dress codenya pagi itu. Di telinganya terpasang earphone, perangkat lanjutan handy talk. Co-card menggantung di dada kirinya. Kedua tangannya memegang kamera, jeprat-jepret sana sini. Kebetulan, dia di seksi dokumentasi.

Dari berbagai angle Syarif mengabadikan moment. Dia hilir mudik, dari depan ke belakang, lalu ke samping dan ke depan lagi. Dia abadikan tiap moment mulai dari pembukaan, pembacaan kalam ilahi dan seterusnya. Berbagai spot juga di jepret, seperti suasana di meja reservasi, kursi penonton, meja juri dan lain-lain. Saat lelah dia rehat sejenak.

Kali ini acara inti sudah dimulai. Pintu CH sudah ditutup sedari tadi. Pemateri yang didatangkan dari luar negeri sudah memaparkan makalahnya. Dan para peserta fokus mendengarkan. Peserta yang hadir sangat banyak. Seluruh kursi penuh. Sebab pemateri yang ada memberi niat jual tinggi.

Syarif ada di bagian kanan depan. Duduk lesehan. Sesekali dia memoter penonton lalu melihat hasil fotonya. Dia bersyukur karena semua hasilnya bagus. Dia sudah belajar seni fotografi selama di Jogja. Dan belajarnya mulai menujukkan hasil.

Satu persatu gambar dia lihat. Di gambar terakhir, Syarif tertegun. Dia melihat seorang wanita terabadikan dalam lensanya. Kerudungnya kuning, bajunya putih. Senyum yang terukir di wajah itu sangat familiar. Alice. Wanita itu yang ada di display kamera Syarif. Duduk di baris ketiga dari depan bagian kanan. Dari tempat duduk Syarif, itu hanya berjarak dua meter!

Dan mata mereka bertemu secara langsung beradu pandang. Syarif senang dan terkejut bukan main. Alice tanpa pemberitahuan. Sepertinya dia berniat memberi sureprize, mungkin juga semacam ucapan terima kasih. Mereka berpandangan dan saling senyum. Syarif mengarahkan lensa kamera pada Alice. Jepret! Dan dalam kamera itu bertambah satu foto lagi: muslimah cantik yang sedang tersenyum ke arah fotografernya. Bukan pada lensa kamera.


Komentar