Selalu Saja Entah Mengapa
Mungkin pesona. Atau bisa jadi yang lainnya. Aku sendiri tak
tahu jelasnya apa. Namun, tahukah kamu bahwa menuliskan rasa di hati dapat
mengurangi beban mental yang terlalu berat dipikul?
Prince Photography | Source: farm9.staticflickr.com |
Sebagai anak pesantren, yang dulu jarang interaksi dengan
lawan jenis, wajar sekali jika saat kuliah tertarik bahkan suka pada perempuan.
Sebagai anak pesantren, aku juga memiliki kecenderungan untuk
suka pada perempuan yang gampangnya dibilang memiliki basic agama bagus.
Kelihatan di hijab dan sikap.
Dari dulu, seperti sebuah siklus, aku berulang kali suka pada
perempuan. Suka A, lambat laun hilang beralih kepada B. Setelah B ada lagi si
C. Terus begitu, hingga mungkin sampai pada titik jenuh, aku lelah. Dan masih
untung, hal itu hanya sekedar ‘suka’, bukan cinta. Jadi, resiko patah hati dan
galau lebih kecil. Semoga saja begitu.
Di dunia perkuliahan aku bertemu dengan orang-orang dari
berbagai daerah yang memiliki perbedaan karakter dan latar belakang. Selama dua
tahun terakhir, ada beberapa nama yang kutaksir. Tapi ya begitu; suka, udah
gitu aja. Sebisanya, kutahan diri untuk tak melakukan hal yang kuinginkan.
Berat sekali memang.
Salah satu diantara mereka pernah membuatku bingung tentang
rasa. Gejolak batin kurasakan. Namun sekarang kami sudah jadi teman akrab,
tanpa perlu mengusik hal yang tak perlu. Sayang, dia bukan sosok terakhir, sebab
muncul sosok baru. Sebut saja namanya Haruka.
Perlu kujelaskan bagaimana dia? Kurasa, cukup kuberitahu
secara sederhana. Ia anggun, berhijab, cerdas dan baik. Selebihnya adalah
rahasia perusahan. Akses publik dibatasi.
Dalam kacamataku, Haruka adalah perempuan yang mungkin sekali
ditaksir banyak orang. Tipe menyenangkan yang membuat lelaki mengatakan ‘subhanallah’.
Pribadinya menarik, baik. Tak heran ketika banyak teman cowok atau cewek akrab
dengan dia, bahkan juga kagum. Awalnya, aku pun begitu. Rasa tertarik padanya
terkumpul sedikit demi sedikit lalu meledak begitu saja. Real, aku suka
sama dia. Sayangnya tak kutahu di level berapa. Hal ini berlangsung tidak lama
dan sampai saat ini dia adalah entitas yang paling kuhindari. Entah kenapa.
Merenung tak cukup, bertanya perlu kulawan gugup. Akhirnya,
bagian yang tak kumengerti tentang perasaanku padanya kubiarkan begitu saja,
lalu kutitipkan jawabannya pada sang pencipta cinta.
Aku menyukainya. Tapi tubuh ini menolak bersinggunngan
dengannya. Aku kagum padanya. Tapi hati ini mati-matian meredupkan entitasnya.
Aku bingung, entah kenapa. Menurutmu, aku harus bagaimana?
Idealnya, ketika kita menyukai sesuatu maka akan ada respon
positif atasnya. Kita suka makan cokelat, ya beli lagi, makan lagi. Kita ingin
tahu kelanjutan sekuel novel, ya beli lagi (lanjutannya), baca lagi. Sedang
aku? Menyukai dengan menjauh? God, it’s really contradictive thing.
Sialnya, itulah realitas yang menimpaku.
Hal yang kurasakan saat ini; aku malas hubungi dia, aku malas
bertemu dia, malas ngobrol dengannya, malas bersinggungan dengannya. Butuh pun,
mati-matin kucari alternatif orang selainnya. Asalkan bukan dia, hati ini
tenang. Namun, disudut sepi dan lelahku, memory ini tetap saja me-load data
tentangnya. Ingat wajahnya, bagaimana prestasi yang dibuatnya. Kekagumanku
muncul disitu. Terus begitu. Makin lama kumemikirkannya makin tertekan diriku,
merasa kecil atas pencapaiannya yang hebat. Tertekan dan sialnya hanya
tertekan. Tekanan itu tak memotivasiku untuk bangkit, bangkit untuk bersaing
dengannya.
Aku menahan diri untuk tidak melihat informasi di akun sosial
medianya. Lucukah saat kukatakan semakin banyak info yang kutahu tentangnya dan
semakin banyak kulihat paras ayu dan senyum cantiknya hanya membuatku semakin
memperdalam rasa sukaku? Lucu? Mungkin saja. Makanya sebisa mungkin tak
kulakukan. Cuma, informasi tentangnya selalu berputar di beranda sosial
mediaku. Datang di saat yang tidak tepat, biasanya.
Saat berdiskusi, kerap ada yang tidak sepakat dengan kita. Anggap
saja anti-tesa, atau golongan oposisi. Biasanya dalam hidup juga demikian. Ada
orang yang memerankan antagonis di cerita kita. ‘Orang’ ketahuan kongkretnya. Dalam
kasusku, aku seperti dimusuhi takdir atau apalah. Aku sering menyebutnya
‘keadaan’. Jelasnya begini. Ketika aku sudah mulai lupa tentang Haruka,
tiba-tiba saja kita bertemu. Ketika aku sudah mulai jauh dari Haruka, ada saja
yang membuat kita terdekatkan. Jika tak dipertemukan di dunia nyata, mimpi pun
menjadi sarananya. Lemas langsung menyerangku. Seakan usaha yang kulakukan
untuk menjauh dari Haruka tak ada artinya. Menahan tiga hari, malamnya terbawa
mimpi.
Kadang aku bertanya pada diri apakah usaha yang kulakukan
untuk menjauhinya belum cukup karena ternyata dia hidup di hati dan ingatanku?
Atau sebenarnya dia tak perlu kuhindari karena memaksa lupa pada dasarnya
mengingat tanpa diminta? Aku bingung, entah kenapa.
Langit malam, bantu aku luruhkan rasaku dengan benar. Bintang, berekdiplah
pada jawaban yang harusnya kupilih. Udara, peluk ragaku saat ku mulai
salah arah. Bumi, getarkan kakiku pada langkah yang terlupa. Suara,
bisikkan hal yang perlu kuperbuat dan pikiran yang seharusnya teredefinisi.
Tubuh dan jiwaku;
kamu perlu lebih dari sekedar rehat, mengusaikan lelah lahir-batin
berkepanjangan yang hanya membuahkan penat.
Titik (.) terakhir itu kutekan pada jam 22.17. Ahad, 25
Oktober 2015 | 13 Muharram 1437
Yogyakarta, yang selalu istimewa. Pun ‘Kamu’ juga.
Komentar
Posting Komentar