Merayakan Kata-kata dengan Puisi

Tertanggal 07 Maret 2017 senada dengan 8 Rabiul Akhir 1438

Ini nih Gengs | Source: Facebook
Beberapa hari yang lalu, saya menyusuri beranda di akun facebook saya. Disana biasanya banyak informasi dari kawan-kawan, dosen atau kolega. Isinya bisa berupa keseharian, informasi lomba atau kegiatan dan juga promosi. Bagi yang ingin mengajak ke event tertentu biasanya melakukan tagging pada akun saya, atau invite dari suatu page. Kebetulan dosen hits UIN SUKA yang juga kepala perpustakaan, menandai saya untuk ikut serta dalam acara launching buku ‘Ombak Negeri Legenda’ karya Aly D Musyifa. Penyair dari pekalongan, yang jago membuat batik dan suami maknyak Labibah Zain. Tertarik, saya berniat datang ke acara tersebut.

Selasa pagi ruang teatrikal sudah penuh orang. Saya yang datang terlambat sekitar setengah jam pesimis bisa mendapat kursi untuk pantat saya. Namun jika harus menonton dari luar, ada lcd yang dipersiapkan sebagai mirroring acara dari dalam ruangan. Beruntung pustakawan mempersilakan saya duduk di tempat yang masih tersedia.

Saya masih awam soal puisi. Kadang ada inspirasi untuk menuliskannya. Setelah saya tulis, saya edit. Begitu terus. Namun di akhir saya masih tidak yakin kalau yang saya tulis itu puisi. Mendatangi acara ini, selain tujuan senang-senang, saya ingin mendapatkan pencerahan. Maka apa yang saya dapat, saya bagi dengan kalian. Semoga bisa menarik sebuah diskusi. Lalu sebagai catatan, semua yang saya tulis ini baru. Baru dalam artian hal yang baru saya ketahui dan saya komentari, saya coba nalar, saya singkronkan sebisanya dalam sebuah tulisan. Mungkin tidak semuanya bisa saya tuliskan disini. Namun yang terpenting, saya mencoba menuliskan hal baru. That’s all.

Host Cetar Dahsyat Membahana 
Bu Labibah bertugas sebagai MC. Sebagai istri yang baik dan dosen kece, beliau sukses membuat acara ini ‘wow’ dan ‘geeeer’. Beliau bisa mengarahkan orang untuk antusias sekaligus senang. Sering saya dengar joke segar yang mengocok perut berhasil membuat saya tertawa terbahak-bahak bersama para hadirin yang hadir. Kebanyakan saya tertawa bersama para orang dewasa. Padahal anak-anak IP, adik tingkat saya, banyak yang hadir di acara ini tapi tidak sesering dan sekeras saya saat tertawa. Antara mereka tidak begitu memahami atau ada yang tidak pas pada diri saya; antara usia, pikiran dan perawakan. Disini saya mulai curiga. 

Acara ini bisa terselenggara atas kerjasama berbagai pihak yang nota bene mereka adalah teman Pak Aly dan Bu Labibah. Hadirin ada yang datang dari Jember bahkan Jakarta. Mereka yang diundang adalah orang-orang hebat di bidangnya. Beberapa adalah alumni Teater Eska. Mereka datang untuk membacakan puisi Pak Aly sebagai bentuk apresiasi, walau tidak semua. Setidaknya menjadi jelas bahwa jangkauan silaturrahmi pasangan Aly-Labibah itu luas. Mereka mempunyai banyak teman yang siap membantu dan bersinergi dalam berkarya. 

Sebuah kabar gembira bagi anda yang tidak dapat hadir pada acara siang tadi. Bahwa acara ini akan disiarkan tunda di RRI Jogja Pro 2, Kamis 9 Maret 2017, jam 20.00 waktu DIY. Jangan buat diri anda menyesal. Sudah tidak datang, tidak mendengarkan siaran tundanya pula. Ini adalah acara hiburan yang membedayakan dan menyenangkan. Pembacaan puisi dilakukan cukup berbeda, bervariasi. Musikalisasinya menarik.

Saya memang mencoba bercerita disini. Tapi jika tidak sesuai ekspektasi... mending dengarkan siaran tundanya. Haha.

Ada beberapa penampilan yang saya catat. Salah satunya adalah dari Pak Fathorrahman Ghufron. Beliau dosen Fakultas Syariah, saingan puisi dengan dosen saya, Bu Siti Rohaya. Sebelum membaca puisi, ada satu kalimat unik yang saya tangkap. ‘Bagi saya membaca puisi sama seperti membaca Al-qur’an. Banyak ritual’. Entah ritual apa yang dimaksud saya juga tidak tahu. Tapi saya cukup setuju ketika puisi sama seperti Al-Qur’an, di beberapa hal.
Al-Qur’an turun di masyarakat Arab karena mereka ahli membuat syair. Ayat-ayat Al-Qur’an menyenangkan ketika dibaca, pun sarat akan makna. Ada irama dalam setiap katanya. Kandungan Al-Qur’an dapat menyesuaikan pemahaman pembacanya. Dalam artian, bila orang awam memahami hanya sebatas tekstual, ya begitulah adanya. Dan bila ahli tafsir memahami lebih dalam (kontekstual) ya begitulah adanya. Puisi, memiliki semua dimensi ini.

Apakah anda termasuk pujangga yang menyatakan cinta pada pujaan hati lewat puisi? Pak Fathorrahman Ghufron bercerita bahwa istri beliau jatuh cinta karena puisi-puisinya. Saya pribadi, punya pengalaman sebaliknya. Karena menyukai seorang wanita, saya menulis sebuah (karangan yang mungkin bisa dibilang) puisi. Pergolakan batin dan emosi saya tuangkan dalam kata-kata, dalam bait-bait puisi. Bait puisi yang sarat makna tentu dapat diterima dengan baik oleh wanita yang memang perasaannya sangat sensitif. Saya bukan memanasi anda menembak cewek lewat puisi. Tetapi yang penting disini adalah puisi menjadi sebuah refleksi emosi dari penyairnya. Dan refleksi itu tidak cuma tentang cinta.

Mas Icep (Fadhil A Yani), Pengasuh PP Darussalam Ciamis (setidaknya begitu yang saya dengar) membacakan puisi Pak Aly yang berbahasa Arab. Setelahnya ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sembari diiringi melodi gitar. Saya tidak tahu ada berapa puisi Pak Ali yang menggunakan bahasa Arab karena memang tidak mempunyai bukunya. Tapi sepintas dari puisi bahasa Arab yang Mas Icep bacakan, sensititas puisinya sama. Kuat meski dalam bahasa yang berbeda. Membuat puisi beda bahasa itu tidak mudah.

Sebuah kejutan, dari sekian penampil puisi yang rata-rata orang dewasa, ada satu anak yang membacakan puisi. Namanya Zaki Akhfash Ramadlani, masih kelas 5 sekolah dasar di Jember. Zaki, yang merupakan putra dari rektor IAIN Jember (Pak Babun Suharto), telah memenangkan beberapa perlombaan baca puisi. Prestasi ini menandakan bahwa per-puisi-an dapat dirambah anak-anak, tentunya pada level mereka. Sebelumnya mungkin tidak asing nama Abdurrahman Faiz, anak dengan puisi yang bagus muncul lewat karya di KKPK (Kecil-kecil Punya Karya) dan bagi anda yang di sekitar Jogja tidak asing dengan karya Abinaya Ghina J. Dan Hal ini juga mengingatkan kita bahwa puisi penting bagi anak-anak. Bahwa literatur kesusastraan penting diajarkan sejak dini dan pentingnya ada yang mengisi genre puisi anak (tepatnya ditulis oleh mereka yang memang anak-anak).

Selanjutnya ada Pak Farid Mustova, dosen UGM. Beliau membacakan puisi Pak Aly dengan mengaransemen ulang menjadi lagu. Saya lupa judul puisinya, tapi puisi tersebut dinyanyikan menjadi lagu dengan dua genre, senang-energik dan syahdu-mendayu. Padahal hanya satu puisi, namun menjadi dua lagu yang berbeda. Fenomena ini seakan menjadi sesuai dengan perkataan Pak Farid bahwa puisi itu misterius. Tapi saya rasa, ada sesuatu yang tidak sederhana terjadi; diksi puisi Pak Aly ‘fleksibel’ jadi bisa digubah melodinya dan Pak Farid peka dalam mengaransemen satu puisi menjadi dua lagu dengan genre berbeda.

Ada Bu Nana Ernawati dari LSSR (Lembaga Seni dan Sastra REBOENG). Beliau adalah sastrawan, bidan dari kelahiran LSSR. Beliau juga membaca puisi. Selain itu ada beberapa catatan dari bu Nana. Pertama adalah mengenai acara launching buku. Konsep launching buku Pak Aly ini menarik. Berbeda dari biasanya, terkesan menyenangkan dan tidak terlalu serius. Kedua mengenai pustakawan. Awalnya beliau menyangka pustakawan hanya orang membosankan yang kerjanya hanya menjaga buku. Tapi melihat sepak terjang  Bu Labibah dan seabrek kegiatan yang digawanginya, mindset Bu Nana berubah. Pun juga kawan-kawan, dalam acara ini pustakawan juga ikut berpuisi. Ada penampilan Bu Ida dan Bu Widyastuti. Baru tahu dia kalau pustakawan itu kece dan multi-talent Wkwk. Ketiga, puisi Pak Aly itu ‘cantik’. Saya pribadi memahami bahwa maksudnya adalah memesonakan, gemulai dan menarik. Itu opini saya. 
Salah Satu Penampil, Bu Nana dan Mas Iqbal (dengan Viola)

Setiap pembaca puisi punya gayanya masing-masing. Ini yang saya lihat ketika acara. Tidak pernah ada penampil dengan gaya yang sama. Ada yang menggunakan alat musik, ada yang hanya membaca. Dan setiap mereka yang membaca pun, tidak pernah sama gayanya. Si A tinggi, B serak-serak basah, C mendayu-dayu. Semua menyesuaikan puisi yang dibaca tentunya.

Abdur Rozaki, peneliti IRE, memberikan sebuah kata-kata yang menarik sebelum berpuisi “bila politik kotor, puisi yang membersihkannya. Bila hidupmu stres, maka bacalah puisi”. Saya tidak berkecimpung dalam politik, jadi saya tidak tahu apakah adanya puisi menjadi semacam pembersih lantai kotor di beranda kekuasaan. Tapi saya juga pernah tertekan. Itu terjadi ketika saya menjalani masa sekolah Aliyah. Belajar di jurusan IPA, mempelajari fisika, membuat saya tahu tentang tekanan pada tas saya yang tiap hari bertambah berat dengan segepok buku teks yang harus dibawa. Membaca puisi memberi saya ketenangan. Tidak ada rumus yang harus dihapalkan atau hasil yang harus dicari. Menyenangkan ya? If you know what I mean.

Secara jadwal, ada pemberian testimoni atas puisi Pak Aly oleh Prof. Dr. Taufiq A. Dardiri. Namun kondisi beliau paska menjalani operasi pita suara tidak memungkinkan untuk menyampaikan terstimoni, maka Bu Aning (salah satu dosen Fakultas Adab dan Sastrawan) mewakili beliau menyampaikan tertimoni. Hal penting yang dapat ditangkap dari testimoni tersebut adalah puisi itu seringkali memiliki keretakan, ada celah dari suatu puisi. Bagi saya, tidak ada karya yang sempurna. Maka ketika kita menulis puisi, revisi demi revisi memang harus dilakukan. Puisi yang baik akan tetap bertahan setelah terkena revisi bertubi-tubi. Karena dengan begitu kualitasnya akan terlihat. Ibarat berlian yang akan nampak keindahannya setelah proses panas yang panjang. Bila ingin puisimu terasa manis, revisinya harus sadis bukan?

Hal kedua dalam testimoni tersebut sangat penting bagi saya. Penyair itu, Prof Taufi mengutip  kata sastrawan Tawfiq al-Hakim, ibarat rembulan. Ia merefleksikan panas kehidupan yang bergemuruh dalam dada lalu memadatkannya menjadi sebuah puisi. Pak Aly berhasil melakukan itu.   

Di akhir adalah penampilan utama dari sang penyair, Aly D Musyrifa. Beliau berduet dengan Mas Merlisto yang backing musik. Saya bukan seorang komentator, saya juga tidak banyak tahu tentang puisi. Tapi satu hal yang jelas, penampilan terakhir berhasil membuat saya yang tidak mengerti apa-apa ini merasa gembira dengan penampilan yang dibawakan Aly-Merlisto, penyair-musisi. Saya hanya bergabung dengan yang lain, bersenang-senang merayakan kata-kata dengan puisi.


Salam. 

Komentar

  1. Balasan
    1. Kresek mana kresek :3

      Suster, saya butuh oksigen :v

      Hapus
  2. Mas Akmal yen nulis kok keren Ki maeme sok lawuh opo mas?๐Ÿ˜ฎ

    BalasHapus
    Balasan
    1. keren atau tidak, bagus atau tidak, pokoknya porsi menulis kudu lebih banyak dari makan :D :v

      Hapus
  3. Oh jadi terungkap sudah siapa yang ketawa paling keras waktu itu ๐Ÿ˜‚
    Bagus mas, tulisanmu hidup (?)...tidak seperti punyaku yg terkesan kaku ๐Ÿ˜ญ
    Eh eh eh judulnya sama oh, merayakan kata-kata ๐Ÿ˜„ udah itu aja. Sukses terus buat mas Akmal ๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh yang ketawa paling keras waktu itu pak Rozaki :v

      aku udah baca blog kamu dan sudah kuberi komentar ya

      sukses buat kamu juga yaa. terus menulis

      Hapus
  4. mas akmal... terimakasih sudah mau mampir ke blog dan memberi komentar juga memberi pencerahan (?) hihi ^^ ainul ga bisa balas langsung, komentarnya mas akmal ga muncul, mungkin karena ainul ganti tema.
    sukses juga untuk mas akmal, semangat menulis. sekali lagi terimakasih, master... hihiyy ^^

    BalasHapus

Posting Komentar