Masyarakat Indonesia dan Kemerdekaan Informasi

14 Agustus 2015 senada dengan 30 Syawal 1436

Dirgahayu 70 tahun Indonesia. Dari 17 Agustus 1945 hingga 17 Agustus 2015 bukanlah rentang yang sebentar. Lebih dari itu, pencapaian bagi bangsa ini perlu dievaluasi. Sebab, sungguh rugi bangsa ini bila tak menjadi lebih baik dari sebelum mendapat kemerdekaannya. Ke depannya, sebuah negara perlu sekali menjadi lebih baik.

Kemerdekaan dalam bahasa Inggris adalah Independence. Padanan katanya bisa berupa freedom atau liberty. Muara maknanya adalah satu, bebas. Kaitannya dengan pemerintahan, berarti tak ada bangsa yang menjajah. Negara merdeka memiliki pemerintahannya sendiri. Tapi pada hakikatnya, kebebasan dan kemerdekaan bisa bermakna lebih luas dan dirasakan semua orang yang ada di negara terkait. Tercapai tujuan negara merupakan indikator terjelas suatu negara yang telah berlabel ‘merdeka’. Dalam istilah lain, suatu negara berubah dari ‘berkembang’ ke ‘maju’.

Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Beriringan dengan pendidikan, informasi merupakan bidang yang tak kalah penting untuk mewujudkan hal ini. Jika dengan pendidikan, masyakarat dibina untuk memiliki karakater ke-Indonesia-an maka dengan informasi masyarakat di arahkan cerdas dalam budaya literasi.

Selepas penemuan komputer dan aktifasi internet, pola informasi pun berubah. Informasi dapat menyebar dengan sangat cepat dari suatu tempat ke tempat lain tanpa terbatas waktu dan jarak. Global Village sudah menjadi realita masyarakat saat ini. Dalam hal pemerolehan informasi, masyarakat sudah sangat tidak kesulitan. Akses informasi pun termudahkan dengan semakin beragamnya media. Untuk mengambil contoh, sebut saja koran. Salah satu bentuk media mainstream dalam bentuk cetak. Atau yang lebih dekat lagi ialah akses informasi dari perangkat genggam berfitur internet.

Dari contoh dua hal tadi, bisa dikatakan kebutuhan masyarakat dunia (termasuk Indonesia) dapat terpenuhi. Memang selalu ada perubahan, misal dari dominasi memeroleh informasi lewat media cetak ke digital, tapi pada dasarnya informasi sudah sedemikian banyak tersebar dan seharusnya mendapat kata sulit. Namun apakah demikian?

Indonesia adalah negara kepulauan yang luas. Namun memiliki ketimpangan dalam pemerataan informasi. Hal ini terbukti dengan adanya daerah yang berstatus terbelakang, baik secara ekonomi, infrastruktur lebih-lebih infomasi. Hal ini berakar dari pola persebaran penduduk. Contohnya, pulau Jawa menampung jumlah penduduk yang lebih besar dari pada Papua. Lalu keadaan ini memengaruhi berbagai sektor perkembangan informasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa di pulau Jawa akses informasi lebih baik. Surat kabar harian banyak yang terpusat di Jawa, dan penerbit buku juga rata-rata ada di pulau Jawa. Sedang untuk daerah terbelakang seperti Papua, persebaran media ini cukup terkendala dengan sulitnya akses transportasi.

Baru-baru ini, Indonesia mulai meningkatkan kualitas jaringan internet. Istilah 4G, disebut sebagai kualitas jaringan yang lebih baik dari sebelumnya, sudah merambah ke berbagai daerah. Ditambah lagi operator selular yang berlomba menyediakan layanan internet murah-berkualitas (berdasarkan iklan masing-masing). Seharusnya, kondisi ini dapat menjadi solusi bagi daerah terbelakang. Jadi meski mereka tak bisa menikmati informasi secara cetak, bisa tetap dapat menikmati informasi lewat internet, misalnya dengan browsing dengan gadget pribadi. Namun lagi-lagi ini menjadi masalah sebab daerah terbelakang biasang juga berdampak pada keterbelakangan ekonomi. Rendahnya pendapatan per kapita membuat masayarakat di daerah terbelakang akan lebih mengutamakan alokasi keuangan untuk pemenuhan kebutuhan harian dari pada untuk akses informasi. Akhirnya, jurang gap teknologi masih jelas menganga.

Sebuah bangsa yang maju dapat dilihat dari budaya literasi mereka. Dimana kemampuan baca dan menulis sudah tak menjadi permasalahan lagi. Bangsa yang literet juga perka terhadap perkembangan informasi. Hal ini juga menjadi peran negara. Memberikan akses informasi yang baik kepada masyakarat merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan negara dan harus dilakukan sebagai bentuk pelayanan negara disamping juga sebagai pemenuhan hak asasi manusia.

Kemerdekaan memeroleh informasi juga merupakan hak asasi manusia. Asosiasi Pustakawan Amerika (ALA) menyebutkan bahwa masyarakat punya hak untuk mencari dan menerima informasi. Hal ini pun di lindungi oleh konsitusi negara. Dan kemerdekaan memeroleh informasi tentu berkaitan dengan kemerdekaan membaca. Semua itu termasuk dalam intellectual freedom atau kebebasan intelektual, hak bagi tiap individu.
Negara ini memang sudah lepas dari penjajah. Maka logikanya, kebebasan intelektual bangsa Indonesia tidak perlu dipertanyakan. Tak ada yang akan melarang kita membaca. Semua orang mendapat informasi secara merata. Hanya saja, hal itu masih sebatas utopia yang jauh dari genggaman. Selama masih ada daerah berstatus ‘terbelakang’ dan kesenjangan informasi, seperti paparan sebelumnya, maka kebebasan intelektual belum terealisasi di negeri ini. Atau jika dilihat ke sekop yang lebih luas lagi, maka pada dasarnya kita belum mencicipi makna ‘merdeka’ yang sesungguhnya.

Masalah ini terbilang kompleks. Tentunya membutuhkan penyelesaian yang tidak sederhana dan adanya partisipasi dari dua elemen besar; pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran penting untuk memberdayakan daerah tertinggal yang tidak hanya Papua. Sisi ekonomi perlu ditunjang dengan berbagai program. Misalnya dengan pengembangan pusat wisata daerah sebagai bentuk pemasukan anggaran daerah. Pembenahan akses transportasi, infrastruktur pendidikan dan sarana informasi juga mutlak dilakukan. Saat jalan ke desa-pelosok mudah, sekolah berkualitas dan jaringan internet lancar, maka daerah tertinggal akan semakin membai keadaannya. Selain hal tadi, masih banyak pengembangan dan perbaikan lain yang dapat digarap pemerintah. Dengan begini, lambat laun pendapatan per kapita masyarakat daerah tertinggal dapat berubah. Tentunya disusul perkembangan di sektor lain.

Sementara itu masyarakat, yang terdiri atas pendidik, LSM, mahasiswa dan siapapun yang peduli dengan bangsa, dapat menerapkan solusi aplikatif; pengembangan perpustakaan. Pengembangan ini menyangkut pembenahan perpustakaan dan pendirian perpustakaan yang tersebar di berbagai level. Perpustakaan sekolah perlu menjadi pusat pembelajaran siswa, bukan sebatas pelengkap saat akreditasi. Para guru dan pustakawan perlu bahu membahu dalam hal ini, tentunya juga dengan bantuan dan kepedulian dari pemerintah. Perpustakaan desa juga bisa diberi perhatian khusus sebagai sentra pembelajaran penduduk desa. Atau dengan bentuk lain berupa Taman Baca Masyarakat (TBM). Perangkat desa dan para pemuda adalah aktor utama realisasi niat baik ini. Harapannya, kepedulian masyarakat terhadap informasi dapat berubah. Disamping itu, solusi ini sudah menunjang kebutuhan informasi masyarakat.

Akhirnya, diskusi ini tidak bisa mandeg dalam bungkusan kata-kata saja, tapi perlu dilaksanakan secara serius. Dengan penerapan solusi ini, kemerdekaan informasi mulai mendapat titik terang dan jelas wujudnya. Dan nanti pada gilirannya, kita semua dapat menikmati rasa kemerdekaan Indonesia yang sebenar-benarnya. Dimulai dari kemerdekaan informasi yang merata.

Selesai ditulis dalam rangka menyambut kemerdekaan kita

Annuqayah, 16 Agustus 2015 senada dengan 1 Dzulqa’dah 1436

Komentar