25, 25, dan 25
Cerita ini saya dengar ketika acara
tahlilan malam ketujuh untuk alm. KH. Ahmad Basyir AS yang diselenggarakan IAA
Jogja, tepatnya saat sesi ramah tamah. Ditutur oleh Cak Maulidi, yang sanadnya
langsung dari guru beliau (saya lupa nama guru beliau), bahwasanya kita perlu memikirkan
planning dalam menjalani hidup.
Rencana tersebut berkaitan dengan kapan kita menikah dan apa yang akan kita
lakukan setelahnya.
“Ibaratkan usia kita itu sampai 75
tahun. Sudah jangan dipikir lagi kenapa alasannya. Anggap saja sampai 75 tahun”
cak Maulidi memulai pembicaraan dengan disambi tertawa. Senior IAA yang masih
keluarga Annuqayah ini mengatakan bahwa kita perlu melepaskan masa lajang di 25
tahun pertama, menjadi kaya di usia 50 dan fokus bertaubat pada sisa 25 tahun
yang terakhir.
Cak Maulidi menikah di usia 25
tahun. Secara biologis, usia 25 tahun merupakan usia yang baik bagi seorang
laki-laki untuk menikah. Fisik sudah mendukung untuk hal tersebut. Namun kadang
tiap laki-laki akan memiliki cerita berbeda mengenai “kematangan”. Kematangan
tersebut bermakna sukses dan mandiri secara pekerjaan dan finansial. Tidak
semua laki-laki sudah mencapai kata sukses di usia tersebut. “Tidak perlu
memikirkan kamu sudah sukses atau belum. Intinya menikah dulu. Karena kalau
kamu menunda menikah maka kamu akan menunda memiliki keturunan dan secara logis
memiliki waktu yang lebih sedikit untuk melihat anak kamu menikah lalu
memproses keturunan”. FYI, beliau menikahi putri kyai atau tokoh yang memiliki
pesantren/lembaga. Seingat saya begitu.
Lalu mengapa pada usia 50 tahun
harus kaya? Di masa ini harusnya kita sudah menikmati hasil dari kerja keras
kita setelah mencari kasab selama 25 tahun paska menikah. Pada usia 50 tahun,
normalnya kita sudah lama menjadi orang tua, dimana tanggung jawab nafkah tidak
hanya kepada istri namun juga untuk anak-anak. Dan bisa dibayangkan apa saja yang
harus dipenuhi. Sandang, dan pangan. Ya makanan, ya mainan. Ya pendidikan, ya
liburan. Yaa masih banyak sih yang lain. Haha. So, alasannya masuk akal mengapa
kita perlu kaya di usia 50 tahun.
Sebenarnya, cak Maulidi ketika
menikah di usia 25 tahun belumlah settle.
Alasan beliau memilih menikahi putri kyai atau tokoh yang memiliki
pesantren/lembaga adalah karena secara kemandirian ekonomi mesti si perempuan sudah
baik. Mungkin beban nafkahnya tidak terlampau berat. Hm saya rasa solusi ini applicable. Minat? Haha.
Terakhir, di usia 25 tahun
terakhir, kita bisa fokus untuk melakukan taubat pun juga rehat dari rutinitas
yang membuat penat. Rentang usia ini memang sudah tidak proporsional untuk
melakukan kerja berat. Jadi, nikmati masa senjamu untuk lebih dekat dengan Tuhanmu.
Nah berikut sedikit komentar saya.
Jujur ketika selesai mendengar cerita cak Maulidi, reaksi saya cuma “Ini gue
banget!”. Ingin sekali saya laksanakan karena bagaimanapun alasannya masuk
akal, pembagian waktunya pas. Apakah saya bisa atau tidak, saya belum tahu.
Tapi setidaknya saya menanamkan mindset
tersebut sejak mendengarnya. InsyaAllah ilmu dari beliau akan terealisasi, as soon as possible.
Hal yang paling penting adalah
pesannya. Bahasa penyampaiannya saya gubah untuk beberapa penyesuaian. Terima
kasih dan semoga bermanfaat. CMIIW
Bing Image. Watermark Included |
Komentar
Posting Komentar