Mempertanyakan Aksesibilitas Difabel
Tertanggal 17 Pebruari 2017 senada dengan 20 Jumadal Ula 1438
Semenjak kuliah di UIN, porsi saya berkomunikasi dengan
teman-teman berkebutuhan khusus menjadi tinggi. Teman sekelas saya termasuk people
with disabilities (PWD). Itu persepsi orang. Bagi kami mahasiswa UIN,
mereka lebih tepat disebut difabel (serapan dari bahasa Inggris untuk istilah “diffent
abilities”). Mengapa? Mungkin saya ceritakan saja pengalaman saya mengikuti
Seminar dan Talkshow di UGM bertemakan ‘Mewujudkan Aksesibilitas dan Layanan
Bagi Difabel Menuju Terbentuknya Perguruan Tinggi Inklusif’. Catatan berikut
setidaknya menawarkan cara pandang terhadap para difabel, persepsi yang tidak
sepenuhnya baru namun sering luput diperhatikan. Sebuah cara pandang moderatif
dan inklusif.
Ketua panitia kegiatan ini difabel. Hm saya lupa namanya tapi
beliau tuna rungu total. Selain laporan panitia beliau banyak menyampaikan
informasi. Beberapa diantaranya adalah tentang beliau pernah menginiasi UKM
Difabel di UGM pada tahun 2013. Satu pendapat yang saya suka adalah bahwa
memfasilitasi mahasiswa difabel itu penting. Aksesibilitas fisik dan non-fisik
bagi difabel sangat mereka butuhkan. Mewujudkan hal itu tidak mahal. Yang mahal
adalah kepedulian kita kepada para difabel.
Selanjutnya ada sambutan dari Ketua Himpunan Mahasiswa Paska
Sarjana UGM. Beliau berbicara panjang mengenai difabel tapi yang saya tangkap
sebagai intinya adalah bahwa para difabel sering dianggap tidak normal. Yup
anggapan itu ada, banyak malah. Tetapi kata beliau, normalitas adalah sebuah
konstruksi. Kita cenderung mengganggap mereka yang tidak sama dengan kita orang
normal (maaf) adalah orang yang tidak normal. Ini aneh dan keliru. Pemahaman
ini saya rasa disetujui oleh sebagian besar yang dalam di ruang A GSP UGM ini.
Pembicara pertama bernama Mas M. Zulfikar Rahmat. Beliau
adalah mahasiswa difabel, kandidat doktor di University of Manchester. Gokil
ra? Ini menjadi bukti bahwa menjadi difabel bisa kuliah sampai tinggi. Mas
Fikar memang banyak bercerita pengalaman hidupnya. Dia ingin sekolah seperti
kebanyakan teman-temannya meski syaraf motoriknya terganggu. Padahal sekolah itu
kerja intelektual bukan? Itulah yang berusaha dibuktikan oleh Mas Fikar. Walau
begitu, masa sekolahnya memang penuh bully-an.
Buli paling keras yang dia dapat adalah ketika ditanya
tentang cita-cita. Mas Fikar ingin menjadi guru. Namun dia diejek gurunya
sendiri karena katanya seorang guru harus bisa menulis menggunakan pensil/pen,
hal yang tidak bisa Mas Fikar lakukan dengan kondisi fisiknya.
Semasa SMP, meski buli-an terus menerpa, ada pencerahan dalam
hidup Mas Fikar. Bahwa meski dia tidak bisa menulis menggunakan pensil/pen,
salah satu gurunya menyarankan menggunakan laptop. Dengan laptop, Mas Fikar
bisa menambah produktifitasnya dalam belajar. Meski itu harus ditebus dengan biaya
pembelian yang tidak sedikit mengingat waktu itu harga laptop masih mahal. Berdasarkan
cerita Mas Fikar, kondisi ini menandakan bahwa para difabel belum difasiitasi
dengan baik.
Semua berubah ketika Mas Fikar masuk SMA di Qatar. Orang tua
beliau mendapat kesempatan kerja di Qatar dan Mas Fikar pun sekolah disana.
Kondisinya sangat jauh berbeda. Teman-teman Mas Fikar mendukung belajarnya.
Halnya ini berdampak pada kegiatan akademiknya dan nilai Mas Fikar yang
membaik. Bahkan dia menjadi lulusan terbaik, lalu melanjutkan kuliah di salah
satu universitas di Qatar dengan beasiswa.
Asistensi difabel juga bagus di Qatar, tepatnya di kampus Mas
Fikar. Ada relawan yang menuliskan materi untuknya. Ini berlaku ketika ada mata
kuliah dimana mahasiswanya tidak diperbolehkan membawa laptop. Tapi
pendampingannya tentu menyesuaikan jenis kelamin. Relawan Mas Fikar laki-laki. Kebijaka
kampus beliau, laki-laki dan perempuan dipisah dalam hal tertentu. Asistensi difabel
juga beliau dapatkan ketika akan melanjutkan kuliah di Inggris.
Difabel mungkin berbeda. Tapi sebenarnya tidak ada masalah
dengan perbedaan itu. Hanya saja masyarakat kita (Indonesia) tidak terbiasa
dengan perbedaan itu. Faktanya, secara intelektual, banyak siswa difabel yang
layak mengenyam pendidikan di sekolah umum (bukan SLB). Maka Mas Fikar menginisiasi
organisasi yang bergerak pada bidang ini, aksesibilitas difabel di sekolah.
Pemateri kedua adalah Wadek Fakultas Peternakan UGM, Bapak
Budi Guntoro. Menurut beliau, penggunaan kata difabel itu berkonotasi lebih
positif dari pada disabled people yang kesannya negatif. Padahal difabel
hanya tentang fasilitas. Bila mereka difasilitasi sudah tak ada masalah bukan?
Fasilitas dan aksesibilitas difabel dapat menjadi jawaban nyata bahwa mereka
itu sebenarnya mampu. Cuma punya kebutuhan khusus atau berbeda. Itu saja.
Pak Budi dkk termasuk pihak yang menyetujui dan
memperjuangkan mahasiswa difabel bisa kuliah di UGM. Ada beberapa prodi yang
melakukan penyesuaian kurikulum karena ada mahasiswa difabel. Sisanya, tidak
bisa semudah itu. Semisal makul eksakta yang persyaratannya cukup menyulitkan
untuk difabel.
Di sesi Q&A ada beberapa peserta yang bertanya. Pointnya
ada beberapa. Satu, para guru harus memahami difabel agar stigma negatif
difabel bisa dihilangkan. Kedua, program apapun dalam memfasilitasi difabel
adalah perlu maintenance, keberlangsungan perlu dijaga.
Mbak Fitri, sang moderator, memberi kesimpulan bahwa gerbang
inkulifitas adalah awareness.
Sudah lebih moderat belum menyikapi difabel? Kalau belum,
berarti tulisan saya hanya berbagi cerita.
Salam.
Pamflet Kegiatan | Source:WA Image |
Komentar
Posting Komentar