Seminar Penulisan 2016: Syariah dan Hukum Menjunjung Keadilan
Tertanggal 3 Nopember 2016
Saya rasa, ini hal yang
menyenangkan. Acara ini pas ketika saya kembali ke Indonesia setelah melalui
masa PPL sebulan. Yah dihitung mengisi waktu luang tapi sebenarnya ilmu yang
saya dapat luar biasa.
Acara yang saya ikuti bersama Faidi
ini bertajuk ‘Seminar Penulisan 2016: Syariah dan Hukum Menjunjung Keadilan’,
bertempat di teatrikal Fakultas Syariah dan Hukum. EOnya adalah HMPS Ilmu
Hukum. Meskipun anda melihat tema ‘Syariah dan Hukum Menjunjung Keadilan’,
namun tak pernah disinggung mengenai hal itu saat pematerian. Hehe. Hanya saja,
dua pemateri yang mengisi seminar ini merupakan alumni dari prodi Ilmu Hukum
UIN SUKA. Beliau berdua adalah Nur Khaliq Ridwan (Penulis Buku) dan
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (Peneliti dan Penulis Buku).
“Penulis ulung pasti pembaca tekun,
namun pembaca tekun belum tentu penulis ulung” begitu Nur Khaliq memulai
materinya. Menulis dan membaca memang memiliki kaitan yang sangat erat. Membaca
itu merupakan suatu bentuk jihad ilmi. Saat kuliah anda dituntut untuk lebih
rajin membaca. Dapat menyesuaikan bacaan dengan minat dan kejuruan. Hasil yang
dibaca, dikorelasikan dengan dunia sosial kita. Saya rasa hal itu merupakan
langkah perbandingan dan penambahan wacana. Bacaan apapun itu tidak netral. Ada
visi, ada pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Jadi ketika membaca,
usahakan ada jarak dengan bacaan. Dalam artian, kamu membatasi, mengambil
intisarinya setelah telaah. Jangan dimakan bulat-bulat. Ada ‘ruang
berdiskusi/berdialog’ dengan bacaan. Hal ini pernah saya dengar juga dituturkan
oleh Kyai Hanif dan Bapak Bachrur.
Nur Khaliq juga menyoroti fenomena
digital. Bagi beliau, tulisan-tulisan yang berseliweran di WA itu tidak dalam.
Saya setuju saja karena kadang referensi yang diambil tidak valid dan bahkan
isinya provokatif, tendensius.
Berkaitan dengan menulis, tahap
awalnya adalah ya tulis aja dulu. Uji ide anda. Lalu usahakan menulis setiap
hari. Jadikan sebuah kebiasaan dan kebutuhan, seperti bernafas. Karena bila ada
jeda dari proses menulis, berusaha kembali ke rutinitas tersebut jadi sangat
susah. Itu sama dengan atlit lari, tiba-tiba paska rehat cidera dua tahun lalu
dipaksa lari marathon. Pie perasaanmu? Mantap Jiwa! Cara paling mudah untuk
menulis sebenarnya adalah dengan ATM (amati, tiru, modifikasi). Comot tulisan orang
lain (yang sudah bagus tentunya), tiru tulisan tersebut, modifikasi sesuka
anda.
Pada awalnya, menulisa menimbulkan
kegelisahan. Bisa gelisah karena takut jelek, merasa tidak dilahirkan dengan
bakat menulis dan alasan-alasan ekstrem lain. Hal ini sebenarnya wajar tapi
jangan dibiarkan. Camkan ini: Ketika kamu pertama memulai menulis, hasilnya
sudah pasti jelek! Tapi ingat, kamu tidak akan pernah bisa menulis bagus selama
belum melewati fase jelek tadi. Ada hal lucu yang saya tangkap dari pematerian
Nur Khaliq. Katanya, kalau tulisan kita jelek, itu karena belum pernah dilukai
wanita. Setelah dilukai wanita kamu biasanya akan melakukan refleksi atau
muhasabah semisal ‘Dek, salahku padamu apa?’ dll. Saya engga tahu kebenarannya.
Tapi mungkin masuk akal jika yang dimaksud adalah tulisan yang kontennya banyak
membutuhkan emosi semisal cerpen roman atau puisi cinta. Ketika anda dilukai
wanita, maka emosi anda akan memproses berbagai jenis emosi. Lepas fase sakau,
mungkin tibalah menerima dengan hati terbuka, pikiran tenang dan jiwa yang
ikhlas. Dari situlah, kedewasaan emosis terbangun. Mungkin itu yang dimaksud
pemateri.
Selanjutnya, pematerian diisi oleh
Kamaruzzaman. Karena beliau adalah peneliti, maka pengalaman yang dibagi juga
tak luput dari ‘keluar negeri’ dan penulisan di jurnal ilmiah.
Entah kenapa, beliau memulai waktu
presentasinya dengan menyampaikan fenomena anak kuliahan. Katanya anak kuliahan
ini terbagi pada dua zona, segitiga mas dan segiempat mas. Segitiga emas yang
dimaksud adalah kos, kampus, dan perpustakaan. Jadi kehidupan mahasiswa tidak
luput dari tiga hal tersebut atau hanya berputar pada tiga hal itu. Segiempat
mas, masukkan satu elemen lagi: pacaran. Saya rasa ini pengantar beliau atau
sekedar nostalgia. Yang manapun paling tidak, memberiku gambaran kondisi sosial
mahasiswa, dulu.
Jaman dulu, masih kata beliau,
mahasiswa rajin membaca buku. Lalu sebulan sekali minimal membeli satu buku.
Beberapa ‘spesies’ mahasiswa yang dulu disegani adalah aktifis dan Mapala
(Mahasiswa Pecinta Alam). Anak Mapala biasanya keren-keren dan badannya
kekar-kekar (nah kalau cewek O_o pie???). sedangkan mahasiwa yah mungkin karena
kalau ngomong jago banget. Padahal katanya mahasiswa aktifis itu ‘kuliah ra mlebu, omongan ra mutu, demo kudu
melu’. Saat mendengar hal ini, sontak saya ngakak bwahaha. Dulu, masih
tentang dulu, orang yang menulis dan tulisannya publish di media massa itu wow
banget, greget. Bisa menyaingi dua ‘spesies’ mahasiswa tadi.
Kadang-kadang, kita dapat belajar
mengenai kesalahan tulisan kita dari komentar pendek para ahli. Kamaruzzaman
pernah merasakan hal itu. Dulu, artikel beliau hanya mendapat komentar pendek
dari dosen dan ‘marakke mikir mumet’.
Dan baiknya, beliau terus mencari celah dari tulisannya hingga pada akhirnya
‘ooo ini yang dimaksud oleh pak dosen’ bisa ia katakan. Yah cukup melelahkan
memang, beliau akui. Apalagi kalau yang sedang ditulis adalah jurnal (maksudnya
artikel jurnal penelitian). Tapi hal itu dapat diakali dengan terus istiqamah
menulis dan diniati tidak untuk mencari materi. Percaya atau tidak buktikan
saja.
Pada akhirnya saya merasa memang
hal yang harus kita lakukan untuk jadi penulis ya terus menulis. Karena katanya
penulis yang baik memang orang yang senantiasa menulis. Kata beliau, kita tidak
pernah tahu bila tulisan kita ternyata di baca diluat negeri, didiskusikan dan
menjadi bagian dalam suatu peradaban. Mendengar hal ini saya langsung berpikir
‘njuk tulisanku kepriwe?’. Dan
syaratnya adalah saat menulis jangan takut untuk diejek orang karena tulisan
jelek. Kalau takut, kapan mau maju?
Sedikit tambahan tentang beliau
adalah beliau pernah dianugerahi gelar peneliti terbaik 2012 dan pernah
mendapat beasiswa bergengsi kuliah di Australia (S3). Dan kalau tidak salah
semua itu tidak jauh-jauh karena menulis. Saat saya mengikuti seminar, beliau
sedang mengerjakan buku berjudul ‘Acehnologi’, buku besar tentang ‘Aceh’. Buku
tersebut ada enam jilid. Doakan buku tersebut segera meluncur di pasaran dan
barakah ilmunya. Amin.
Nah berikut adalah cuplikan
intisari di sesi tanya jawab. Saya ambil poinnya saja dari apa yang telah
disampaikan oleh kedua pemateri.
Tidak ada istilahnya mentok dalam
menulis, hanya saja itu menandakan bahwa otak kita butuh gizi tambahan. Menulis itu memiliki fase, jadi harus
menyesuaikan timingnya.
Ada beberapa tipe orang menulis,
satu butuh adanya suara. Satu lagi butuh keheningan. Sesuaikan dengan gaya
anda.
Jika memiliki proyek penulisan
lebih dari satu, kerjakan secara bergantian. Push your brain, untuk membuat
tulisan yang baik. Jangan lupa tambahkan vitamin hati, misal dengan banyak
berdzikir atau mengaji.
Ada beberapa level riset. Satu,
hanya mendeskripsikan data. Dua, mendeskripsikan data dan menggunakan teori
dalam penelitian. Tiga, mendeskripsikan data dan melakukan telaah beberapa teori.
Empat, mendeskripsikan data dan teori lalu memunculkan teori baru. Lima,
mendeskripsikan data, lalu berdampak pada suatu kebijakan. Dan enam, sekedar
merenung lalu muncul teori.
Buku yang berhasi adalah buku yang
menimbulkan keresahan bagi pembacanya, memberi bekas kegelisahan yang menuntut
diselesaikan. Karena proses intelegensia dimulai dari kegelisahan.
Menjadi seorang insan itu tidak
instant. Karena banyak proses yang harus dilalui.
Ada sebuah balada dalam rumah
tangga penulis, biasanya. Yaitu ketika sang suami meletakkan buku-buku dalam
kondisi berantakan untuk mempermudah mencari referensi. Sementara sang istri
tidak menghendaki hal itu dan merapikan kondisi tersebut karena khawatir ada
tamu yang berkunjung. Pusinglah sang suami dengan tindakan istri yang tidak
terduga. Hal ini sering terjadi jadi perlu adanya komunikasi yang baik dan
media yang tepat untuk keberhasilan sebuah kesepahaman. Dan satu pesan, jangan
jadikan menulis sebagai pengahasilan utama keluarga karena kondisi penerbitan
di Indonesia tidak menjamin penulis hidup nyaman.
Tiap orang memiliki batas tertentu
saat menulis. Kala capek jangan dipaksakan. Perhatikan kondisi fisik karena
menulis dasarnya juga memberikan beban yang berat bagi fisik.
Penulis tidak Cuma menulis tetapi
juga menimbulkan keresahan, mengonsolidasi masyarakat dan memobilisasi
perubahan.
Yap begitulah sedikit yang bisa
saya bagi dari acara kepenulisan kemarin. Semoga bermanfaat yak. Terus menulis.
Professor’s
study could destroy a civilization.
-Isaiah
Berlin
Pamflet Kegiatan | Sumber WA |
Komentar
Posting Komentar