Generation W, Generasi WhatsApp
27 Januari 2016 senada dengan 18 Rabiul Akhir 1437 (Night)
Bismillah.
WhatsApp, atau yang biasa disingkat WA, merupakan sebuah instant
messenger (IM). Layanan ini awalnya dibuat bagi pengguna iOS dan sekarang
sudah menjadi aplikasi lintas platform yang banyak digandrungi masyarakat.
Lihat saja di market app smartphone anda, playstore misalnya. Jumlah
downloadernya banyak sekali.
Baru-baru ini layanan WA full digratiskan. Dan tentu
menyebabkan lebih lonjakan pengguna dan menjadikannya semakin favorit. WA bisa
dibilang simpel, jaringan stabil dan tidak ada iklan. Itu hal yang saya suka.
Lalu dengan adanya grup, saya rasa WA kini bisa dikategorikan sebagai media
sosial.
By the way... saya bukan mau promosi WA. Pengantar diatas
saya tujukan untuk mengrahkan pada judul. Kenapa saya pakai judul ‘Generation
W, Generasi WhatsApp’? ya itu plesetan sebenarnya. Dalam pembagian gererasi
digital ada yang disebut generation X, Y dan Z. Hal ini dibagi berdasarkan
kedekatan mereka dengan teknologi dan gadget. Semakin ke belakang generasinya,
semakin intens. Generasi W tidak ada bukan? Disitulah plesetannya. Lagipula,
sudah menjadi rahasia umum dimana masyarakat dewas ini keranjingan social
media, IM dan lainnya.
Semalam, saya sempat mendengarkan podcast tentang media
sosial lewat akun Iqbal Hariadi di SoundCloud. Isinya sebenarnya kegelisahannya
mengenai kondisi kita saat ini hubungannya dengan adanya internet dan social
media. Detail intinya mungkin bisa di-listen langsung. Yang mau saya katakan
adalah saya setuju dengan pendapat subjektif Iqbal. Pun juga merasakan apa yang
dia katakan secara langsung.
Banyak hal yang saya rasakan berubah setelah mengecap
internet, memiliki smartphone dan aktif di media sosial dunia maya. Misal saja,
saya merasa perlu mengecek notifikasi lepas bangun tidur, berusaha membuat
posting yang memiliki rating tinggi dan kelabakan ketika tidak ada jaringan
internet atau kuota mulai menipis kaya jeruk (guyon meme komik indo). Saya
merasa jadi orang lain. Bagaimana ya menyampaikan dengan jelas? Pada intinya
saya merasa menjadi pribadi yang berbeda dengan saat belum memiliki smartphone.
Banyak tindakan yang kaitannya dengan smartphone saya nilai tidak begitu
penting, seperti orang kurang kerjaan saja.
Ironisnya, saya melakukan hal itu dengan sadar. Di satu sisi
media sosial seakan menjadi kebutuhan sedang di sisi lain saya merasa melakukan
hal yang terlalu. Hal paling besar yang saya rasakan adalah timbulnya
ketergantungan pada internet dan media sosial serta terbuangnya waktu berharga
saya untuk hal yang bisa saya tunda kepentingannya. Ada rasa yang timbul dimana
seolah saya menjadi orang penting dan harus terus memantau notifikasi dari hp.
Aneh dan saya tidak suka itu.
Kebelakang, saya mulai merasa tidak nyaman dengan hal ini.
Apa ya? Saya hanya ingin hidup normal tanpa terbebani dengan harus cek
notifikasi misalnya. Atau menjadi pemuda biasa yang share informasi tanpa harus
mendapat respon, di-like misalnya, baik. Hal ini jadi menyerempet pada riya.
Astaghfirullah.
Entah apakah kalian juga merasakan hal yang sama, tepatnya
menyadari hal yang sama, atau tidak. Cuma, ketika ini kaitannya psikologis akan
jadi masalah. Bagaimana tidak, rasanya kita jadi melakukan hal yang aneh. Dan
saat membaca kembali pesan agama, bukankah dunia ini hanya permainan. Maka
tanpa sadar kita sudah terlena karenanya. Sekali lagi, astaghfirullah.
Saya belum menemukan solusinya secara tepat. Tapi setidaknya
mari kita mencoba membaca beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya.
Globalisasi. Bisa dibilang ini hal utama yang memengaruhi hal
tersebut. Shifting paradigm lancar terjadi karena globalisasi juga. Perubahan
budaya menjadi hedonis juga tak lepas dari pengaruh globalisasi. Perkembangan
teknologi yang kadang juga berdasar pada kebutuhan pasar (dalam artian tidak
murni mengembangkan ilmu pengetahun) menjadikan kita butuh pada sesuatu yang
pada dasarnya tak masalah jika tak kita miliki. Semacam ada kebutuhan yang
dibuat-buat. Batas antara butuh dan ingin pun menjadi kabur karena tren menjadi
tolak ukur utama. Sedikit atau banyak, hal demikian bisa dikatakan israf. Gawat
sekali. Jadi berdasar dari globalisasi, semua hal ini terjadi dan menjadi mata
rantai siklus yang kompleks sekaligus rumit diurai.
Namun, kesadaran pribadi sebenarnya berperan disini. Tingkat
kesadaran yang tinggi dapat memfilter kita dari budaya ‘ikut-ikutan’. Tentu
didalamnya ada pula kedewasaan. Orang dewasa akan bisa memilih dan memilah
antara kebutuhan atau hanya sekedar keinginan.
Mungkin alur tulisan ini sedari tadi memang random tapi pada
intinya saya ingin menyampaikan kegelisahan, sama seperti Iqbal.
Bagaimana dengan solusi? Saya rasa itu tanggung jawab
bersama. Jika kalian merasakan hal yang sama, mari berbenah dan temukan solusi
yang sesuai dengan pribadi. Kenapa berbenah? Karena saya pribadi merasa ini hal
yang ganjil. Begitulah.
Hal yang akan saya lakukan sebenarnya lebih pada pengendalian
diri karena bagaimanapun globalisasi tidak bisa ditolak. Kesadaran akan
penggunan social media yang bijak harus ditumbuhkan, mengerem budaya konsumtif
yang ada dan lebih dewasa memaknai waktu. Ini solusi, teknisnya bagaimana? Kan iso
ambek mlaku. :D
Salam.
Alaikumun Nafiah.
Aneh Kan? Ini Buktinya | Source: Doc. faradigm |
Komentar
Posting Komentar