Begini Hari Seninku
21 Desember 2015 senada dengan 9 Rabiul Awal 1437
Pagi ini ada seminar dan bedah buku pak Nurdin. Sebenarnya
buku ini adalah disertasi beliau yang kemudian dibukukan. Jam 08.30 aku sudah
ada di CH lantai dua. Setelah registrasi, aku duduk bersama kakak kelas sembari
menunggu acara dimulai. Buku itu berjudul ‘Representasi Kuasa dalam Pengelolaan
Perpustakaan’.
Acara pun dimulai. Hadir sebagai MC, entah siapa orang itu.
Wajah baru yang tak kukenal. Beliau membuka acara, mempersilakan direktur pasca
untuk menyampaikan sambutan. Bapak Noorhaidi mengapresiasi acara ini dan
memberi selamat atas terbitnya buku pak Nurdin. Selain itu beliau juga
menyampaikan tentang pentingnya perpustakaan dan budaya akademik di lingkungan
kampus.
Mas Wiji Suwarno menjadi moderator pada acara kali ini.
Dipanggilnya untuk maju kedepan bapak Nurdin Laugu dan Ida Fajar Priyanto untuk
masing-masing memberikan materinya. Bapak Nurdin selaku penulis buku
menyampaikan gambaran besar dari bukunya. Dua hal yang saya tarik tentang
representasi kuasa di perpustakaan adalah tentang fitur pemimpin dan
pengembangan koleksi. Dari hal itu tampaklah kontestasi sebuah kuasa. Mungkin
tepat apa kata bapak Putu Laxman Pendit tentang ‘birokrasi kuasa’.
Saat Acara |
Sedang pak Ida banyak memberikan catatan atas buku ini.
Beberapa diantara adalah bahwa kasus yang ditarik sangat dekat. Yaitu tiga
perpustakaan PT; UIN, UMY dan UII. Bagusnya, kata pak Ida, tulisan pak Nurdin
bisa menelanjangi realitas yang terjadi di tiga perpustakaan tadi. Sisanya, ada
presesntasi bu Ro’fah yang tak begitu bisa kusimak berhubung keadaan tidak
memungkinkan. Terakhir, jangan lupa foto bareng.
Bukune |
Siang dan sore adalah break rehat.
Selepas isya, aku menuju Grhatama Pustaka untuk menyaksikan
penampilan cak Nun. Penampilan beliau sudah kulewatkan dua kali. Tidak mungkin
sampai tiga kali kumerasa kecewa tak menyaksikannya. Dua penampilan sebelumnya berada
di lokasi yang dekat dengan tempatku tapi tak bisa kuhadiri berhubung terjegal
kepentingan pribadi. Kali ini kubuang bagian ‘serba sibuk sendiri’, dan
menancap gas ke lokasi penampilan cak Nun. Resikonya adalah aku tetap pergi
meski sendiri. Walau kenyataannya ada teman yang bisa menemaniku. Sungguh tak
disangka.
Setibanya di lokasi, acara belum dimulai. Namun lahan parkir
sudah penuh sesak dengan kendaraan pribadi, motor, mobil, motor lagi. Ah meski
begitu masih ada ruang kosong untuk kendaraan yang kubawa, parkir gan. Kami
berjalan ke depan panggung utama, memilih lokasi duduk dan mendengarkan
presenter membacakan pemenang berbagai lomba yang diadakan BPAD. Hingga
akhirnya kyai kanjeng mengalunkan musiknya. Josh. Perpaduan instrumen ‘Barat’
dan Jawa yang dibawakan terasa pas sekali. Aku suka.
Cak Nun pun muncul, duduk di tangga dan memulai orasinya.
Sebenarnya, temanya adalah tentang membaca dan buku namun pembahasan sampai
kemana-mana. Tak bosan kumendengarnya. Sentilan beliau juga selalu memeriahkan
suasana. Isi yang beliau sampaikan, menurut bagus sekali. Esensinya relevan
dengan kondisi kita utamanya masyarakat Indonesia. Berbobot menurutku. Namun
berhubung tujuanku kesana untuk mendapat hiburan, maka peralatan tulis tak
kubawa. Berikut kusertakan saja beberapa pesan yang kutangkap dari beliau dan
sempat ku-tweet-kan. Redaksinya tak begitu berbeda dengan apa yang beliau
sampaikan. Saksikan.
Jangan mengeluh pada problem. Nesu sedelet, bar iku recover.
// Menulislah. Berkaryalah. // Aku tidak mendapat tempat di Indonesia tapi aku
memberi tempat bagi Indonesia di hatiku. // Jangan jadi budak informasi, tapi supplier.
// Dalam fikiran yang fokus, tidak ada kesuyian atau keramaian.
Malam itu ... Kamu ingat? |
Ya setidaknya itu saja, secuil ilmu yang sempat kuikat.
Sisanya, aku menikmati penampilan musik kyai kanjeng feat istri cak Nun. Bagus
sekali. Indah, seindah langit malam.
Kami tidak sampai usai berada di lokasi. Malam telah larut
dan matanya mulai menunjukkan lelah. Akhirnya, kami pun pulang. Bersama.
Source: Asus Zenfone 4 Camera | Doc. faradigm
Source: Asus Zenfone 4 Camera | Doc. faradigm
Komentar
Posting Komentar